(The Wonderfull World)

gr

.

RSS

Dinamika Hermeneutika dalam Islam



Resume ini diambil dari buku Teks Otoritas Kebenaran karyanya Nasr Hamid Abu Zaid, tapi tidak semua bab dalam buku tersebut, hanya di bab 1 saja yang berjudul Historisitas teks, konsep yang rancu.
Dalam bab 1 di bukunya tersebut Nasr Hamid Abu Zaid  menulis tentang sebuah konsep yang rancu, dimana disebabkan oleh ketidaktahuan atau adanya proses pengkaburan yang timbul dari anggapan picik bahwa apa yang ada dalam pikiran identik dengan apa yang ada dalam kenyataan. Tingkat kerancuan dan ketidakpahaman yang ditimbulkannya serta penentangan dan permusuhan sebagai kelnjutannya, kian bertambah kompleks ketika apa yang ada dalam pikiran tersebut merupakan sesuatu yang kuno dan berakar dalam. Sebab, kekunoan itu telah memberinya sifat kepurbaan, suatu sifat yang membuatnya bernilai otoritatif dan tidak dapat diotak-atik atau didekati, karena merupakan otoritas suci.
Salah satu yang mengakar kuat dan otoritatif tersebut yang hampir merupakan aqidah kepurbaan dan dominasinya adalah pemikiran bahwa Al-Qur’an yang diturunkan oleh Jibril kepasa Muhammad dari hadirat Allah adalah teks qadim dan azali, dan ia merupakan salah satu diantara sifat-sifat dzat Tuhan. Karena dzat Tuhan adalah azali dan tidak bermula maka demikian pula halnya dengan sifat-sifat-Nya dan segala yang berasal dari-Nya. Al-Qur’an adalah firman Allah dan berasal dari Allah sehingga Al-Qur’an qadim, itulah menurutnya. Jadi, siapa pun yang mengatakan ia baru dan tidak qadim atau bahwa ia tercipta yang sebelumnya tidak ada kemudian ada artinya ia muncul di alam maka orang tersebut telah menentang akidah dan layak diknai julukan kafir.
Sedangkan ada pendapat lain mengenai hakikat Al-Qur’an itu, yaitu Mu’tazilah yang beranggapan bahwa Al-Qur’an itu baru dan mahluk karena ia tidak termasuk kepada sifat-sifat dzat yang azali karena Al-Qur’an adalah firman Allah dan firman termasuk tindakan, bukan sifat. Dimana sifat-sifat dzat merupakan wilayah keunikan dan kekhususan eksistensi Tuhan dalam dzat-Nya sendiri, yang artinya tidak terkait dengan dunia, yaitu sebelum terwujudnya dunia dan sebelumnya penciptaan dari ketiadaan. Lalu mengapa firman termasuk ke dalam sifat-sifat tindakan karena Ia meniscayakan adanya audiens yang menjadi sasaran komunikasi pihak pembicara yang artinya berkaitan dengan dunia.
Selanjutnya dalam bab ini Abu Zaid menulis pemikiran lain mengenai topik pembahasan qadim, yaitu mengenai tindakan dan kuasa Tuhan serta ketergantungan keduanya satu sama lain. Di sini ia kembali kepada pembedaan yang dasar-dasarnya telah dibuat oleh Mu’tazilah yaitu pembedaan antara kuasa dan tindakan dalam perspektif fakta ilahiah. Perbedaan antara kuasa Tuhan dengan Tindakan Tuhan ini dapat dibedakan pada dua tingkatan.
Tingkat pertama: tidak terbatasnya kuasa karena ia merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi tindakan sementara tindakan itu sendiri terbatas karena ia terkait dengan dunia yang terbatas sekalipun ia berakar dari kehendak yang tak mengenal batas.
Tingkat kedua: bahwa kuasa bersifat azali karena merupakan sifat yang melekat pada dzat yang azali dan qadim. Sementara tindakan tidaklah azali melainkan historis selama manifestasi riil yang pertama kali dari berbagai manifestasi kekuasaan ilahi adalah menciptakan alam, maksudnya tindakan merupakan fenomena baru dan historis.
Apabila firman Tuhan merupakan tindakan seperti yang di tulis di atas, maka ia merupakan fenomena sejarah sebab semua tindakan Tuhan adalah tindakan “di dunia” yang tercipta dan baru, dengan kata lain bersifat historis. Sifat historisitas ini lah yang menjadi sasaran tudingan yang sangat membahayakan karena dianggap bahwasanya konsep historisitas ini berarti penghancuran terhadap “sakralitas” Al-Qur’an dan pengingkaran bahwa Al-Qur’an itu berasal dari Allah SWT.
Problem yang terdapat pada kebodohan yang akut ini adalah bahwa ia muncul dari konsep tentang hakikat bahasa yang sudah ketinggalan zaman, dan telah menjadi warisan masa lampau. Di dalam pemikiran mitologis pada umumnya bahasa dianggap tidak terpisah dari realitas yang ditunjukknya; atau dengan kata lain, hubungan antara kata dan arti yang ditunjukkannya adalah hubungan identitas.
Melalui sinisme tajam ath-thabari menepis angapan adanya kesatuan antara nama dan bendanya, hubungan antara keduanya didasarkan atas konvensi, bukan hubungan yang bersifat naturalistik. Kata Cuma suara akustik atau simbol grafis yang tidak memiliki makna sama sekali apabila tidak ada konvensi mengenainya. Bukti atas hubungan antara kata-suara atau simbol grafis- dan makna adalah kata-kata yang berbeda-beda dari bahasa-bahasa yang berlainan dapat mengungkapkan makna yang sama.
Di sinilah para pemikir muslim merumuskan konsep bahasa sebagai sistem tanda yang kedudukannya sama dengan sistem tanda lain seperti gerakan dan isyarat. Abdul Qahir al-Jurjani berpendapat bahwa kata tidak menunjuk pada makna dengan sendirinya melainkan melalui konvensi. Sebaliknya kata itu merupakan tanda yang menunjukkan pada suatu peristiwa yang dapat digantikan dengan tanda-tanda lain untuk menunjukkan jika memang ada kesepakatan untuk itu.
Hal ini terus berlanjut, hingga Ferdinan de Saussure memunculkan sisi revolusioner tentang konsepsi tentang tanda. Saussure berpendapat bahwa hubungan antara kata atau penanda dengan makna atau petanda adalah hubungan penamaan, akan tetapi ia memperdalam konsep penanda dan petanda ini sehingga berbeda drastis dari persoalan kata dan makna.
Penanda dan petanda merupakan dua aspek dari tanda bahasa-atau unit bahasa- yang tidak mengacu pada benda melainkan pada konsep mental yang serupa dengan makna dan bukan bendanya. Begitu pula penanda bukanlah suara yang diujarkan atau simbol yang dituliskan, melainkan apa yang disebut sebagai citra akustik. Yang dimaksud dengan citra akustik di sini bukanlah bunyi yang terdengar, yaitu segi materiil murni darinya melainkan jejak psikis yang ditinggalkan dalam diri kita oleh bunyi yang terdengar ataupun simbol yang tertulis. Dengan kata lain jejak psikis-citra akustik- ini tidak lain adalah gambaran mental yang ditinggalkan oleh kesan bunyi. Mengenai pembahasan ini saya kurang mengerti.
Oleh karena tanda-tanda bahasa tidak mengarah pada realitas eksternal objektif secara langsung, tetapi mengacu pada konsep dan gambaran mental yang berdiam dalam kesadaran masyarakat dan juga dalam bawah sadarnya maka ini berarti bahasa berada dalam inti kebudayaan. Kebudayaan meskipun terejawantahkan dalam berbagai manifestasi, seperti tradisi, adat istiadat, pola perilaku dan lain sebagainya, namun bahasa merupakan sistem sentral yang mengungkapkan ekspresi-ekspresi budaya lainnya. Dari sinilah ahli semiotika mengatakan bahwa kebudayaan adalah ekspresi dari berbagai sistem tanda yang inti pusatnya adalah sistem tanda bahasa karena sistem inilah yang mengekspresikan sistem-sistem lainnya pada tataran kajian dan analitis ilmiah.
Mengingat bahasa merupakan penanda dalam sistem budaya, maka setiap teks juga mengacu pada kebudayaan dengan segala yang melingkupinya. Menyinggung pembicaraan mengenai teks Al-Qur’an sebagai firman Allah, maka sudah tentu ia adalah teks yang termasuk dalam kategori parole dan bukan teks yang diujarkan oleh langue, meskipun ia mendasarkan kemampuan pengujarannya itu pada langue. Langue seperti yang diungkapkan de Saussure menghambat perubahan dan mempertahankan stabilitas karena merupakan fakta sosial. Sebaliknya, parole yaitu ekspresi kebahasaan individual memperbaharui dan memperkembangkan sistem bahasa. Ang dimaksudkan dengan sistem pengujaran di sini adalah kemampuannya dari segi keberadaannya sebagai teks yang ditujukkan pada manusia dalam sebuah konteks kebudayaan, dan bukannya dari segi pihak yang mengujarkannya yaitu Allah SWT. Teks Al-Qur’an memang mendasarkan diri pada langue akan tetapi ia merupakan parole dalam sistem kebahasaan tersebut dan mampu untuk merubahnya. Dan apabila kita beralih kepada sistem budaya yaitu petanda dari bahasa maka kita dapat menyatakan bahwasanya Al-Qur’an adalah produk budaya, akan tetapi produk yang juga mampu untuk memproduksi ulang.Hal ini karena ia merupakan produk yang tercipta dari kebudayaan akan tetapi pada saat bersamaan melalui pengolahan terhadap kaidah dan pembentukan makna, ia juga menghasilkan perubahan dan penciptaan ulang pada kawasan sistem budaya dan bahasa sekaligus.
Daftar Pustaka
Zaid, Nasr Hamid Abu. 1995. Teks Otoritas Kebenaran. Yogyakarta; LKiS  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda