Resume ini diambil dari buku “ISLAM” karangannya
Fazlur Rahman sendiri, dan lebih khusus lagi saya mengambilnya dari pembahasan
pada bab ke-13 mengenai perkembangan modern.
Dalam bab tersebut Fazlur Rahman menjelaskan
mengenai Islam pada masa modern, seperti banyak pengamat mengatakan sejarah
islam di masa modern pada intinya adalah sejarah dampak Barat terhadap
masyarakat Islam, khususnya sejak abad ke-13 H/ 19 M. Islam pada masa modern
adalah suatu masa semi-mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau
pengaruh-pengaruh yang formatif dari Barat.
Islam, sejak masa konsepsinya, telah menghadapi dan
dan menjawab tantangan-tantangan intelektual dan spiritual, bahkan wahyu
Al-Qur’an sendiri sebagiannya merupakan jawaban terhadap tantangan-tantangan
yang dilontarkan kepadanya oleh agama-agama Yahudi dan Kristen yang lebuh tua
perkembangannya. Dari abad ke-2 H/8 M hingga 4 H/10 M, serangkaian krisis
intelektual dan kultural timbul dalam islam, yang paling serius dan signifikan
adalah yang dihadapkan oleh intelektualisme Hellenis. Tetapi
tantangan-tantangan tersebut dihadapi Islam dengan berhasil-baik dengan cara
berasimilasi, menolak ataupun menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang
baru tersebut. Dan kaum Muslimin pada masa itu secara psikologis tidak
terkalahkan, secara politik adalah penguasa situasi dan, dalam kandungan
agamanya tidak dibebani oleh beban tradisi yang mati-karena unsur-unsur dan
aliran pemikiran yang barulah sebagian besar mensuplai dan membangun kandungan
Islam itu sendiri.
Sangat berbeda keadaannya ketika dampak-dampak Barat
pada Islam pada abad ke-12 H/18 M dan khususnya pada abad ke-13 H/19 M. Fase
pertama dari dampak ini dalam setiap kasus ialah bersifat politis dan militer dan dalam setiap
kasus kaum muslimin selalu kalah dan secara politis selalu ditundukkan, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Ini diikuti dengan bentuk-bentuk
benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran, yang
bermacam-macam dalam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Tantangan-tantangan
yang paling besar dan langsung datang dari misionaris kristen, pemikiran Barat
modern dan studi serta kritik Barat terhadap Islam dan masyarakat penganut
Islam. Dari ketiga tantangan ini yang pertama adalah misi-misi kristen, yang
merupakan suatu usaha profesional dalam kritik yang bersifat destruktif,
sementara yang terakhir adalah juga demikian, baik disengaja ataupun tidak,
tetapi secara praktis sebagian besar adalah disengaja.
Kegoyahan yang timbul akibat kekalahan-kekalahan dan
penyerahan politik menjadikan kaum muslimin secara psikologis kurang mampu
untuk secara konstruktif memikirkan kembali warisannya dan menjawab tantangan
intelektual dari pemikiran modern melalui proses-proses assimilatif-kreatif,
serta menghadapi kristen, tantangan yang datang langsung pada warisan tersebut.
Karena itu semua unsur yang berbeda dari keseluruhan fenomena ini telah
meninggalkan kesan yang tak terhapuskan pada seorang pengamat luar, bahwa Islam
secara internal telah menjadi tak mampu untuk merekonstruksi dirinya sendiri,
dan apa pun usaha yang mungkin akan dilakukan dalam usaha-usaha rekonstruksi,
kalau pun ia bisa berusaha, akan dilakukan oleh pengaruh-pengaruh dan
pinjaman-pinjaman dari Barat.
Usaha-usaha tersebut di atas merupakan suatu ukuran
atas intensitas dan universalitas kritik-diri, kesadaran akan degenerasi
internal masyarakat Islam dan sifat garis-garis rekonstruksi yang positif.
Pemberantasan takhayul dan obskurantisme, pembaharuan sufisme dan peningkatan
standar-standar moral meupakan ciri umum yang menonjol dari semua gerakan
tersebut. Demikian pula unsur jihad atau aksi politis untuk mencipatakan
pembaharuan sosial dan keagamaan.
Seperti yang telah dibahas diatas bahwa semua ciri
ini langsung diwariskan kepada Islam modern, adalah benar bahwa garis positif
suatu rekonstruksi masyarakat yang secara universal dipermaklumkan oleh
gerakan-gerakan ini adalah kembali kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah,
termasuk berbagai tingkat kandungan warisan sufi, dan dengan itu semua
menyebabkan munculnya kembali fundamentalis secara umum.
Fundamentalis ini sendiri tak syak lagi telah dan
masih merupakan, dalam suatu arti, suatu masalah bagi Islam modern dan
kenyataannya, bagi pandangan yang superfisial ia adalah masalah yang sebenarnya
bagi kaum modernis. Tetapi fundamentalis di sini tidak poleh hanya dipandang
sebagai penghalang badi modernisasi masyarakat dan pandangan hidup, tapi juga
merupakan titik rujukan dasar dalam proses modernisasi ini. Di samping
merupakan titik rujukan, fundamentalis juga telah mensuplai morfologi -bukan
isi- bagi banyak pemikiran kembali yang dilakukan pembaharu-pembaharu modernis:
kandungan etika dan sosial yang baru telah diberikan tempat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah melalui penafsiran . jadi gerakan-gerakan yang lebih awal ini telah
membuka jalan bagi perkembangan-perkembangan modern tidak hanya melalui usaha
purifikasi mereka, tetapi juga cara positif menegakkan kembali otoritas
al-Qur’an dan teladan Nabi.
Namun demikian sifat mendasar dari tantangan modern
dan meratanya pengaruh Barat juga merupakan kenyataan yang kuat. Saluran-saluran
yang menjadi jalan masuknya pengaruh ini tak terhitung banyaknya, seperti
struktur politik, mekanisme pemerintahan dan pengadilan, ketentaraan, media
massa, pendidikan modern, film, pemikiran modern, dan di atas segalanya,
hubungan langsung dengan masyarakat Barat itu sendiri.
Tantangan sebenarnya yang harus dihadapi dan masih
dihadapi oleh masyarakat Islam adalah dalam bidang lembaga-lembaga dan
etika-etika sosial. Dan sifat sebenarnya dari krisis ini bukanlah kenyataan
bahwa lembaga-lembaga sosial Islam di masa lampau adalah salah atau tidak
rasional, tapi adalah kenyataan bahwa selama ini memang telah ada suatu sistem
sosial yang sekarang perlu dimodifisir dan disesuaikan. Sebenarnya, sistem
sosial ini di masa lampau adalah betul-betul rasional, yakni ia telah bekerja
secara sempurna, sama sempurnanya seperti sistem sosial yang manapun juga.
Ketidak beruntungan masyarakat islam dewasa ini adalah bahwa sementara pada
abad-abad awal perkembangan lembaga-lembaga sosial dalam islam, islam mulai
dengan suatu fondasi yang masih kosong dan bersih dan secara ab initio mengukir
suatu jalinan sosial –suatu aktivitas yang menghasilkan sistem sosial zaman
pertengahan- maka sekarang ini, ketika kaum muslimin harus menghadapi suatu
situasi pemikiran kembali secara rekonstruksi yang mendasar, problem akut yang
mereka hadapi tepatnya adalah menentukan seberapa jauh mereka harus
mengosongkan fondasi tersebut kembali, dan atas dasar-dasar prinsip-prinsip
serta metode apa saja, untuk menciptakan satu set lembaga-lembaga yang baru.
Daftar
Pustaka
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Bandung; Penerbit Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda