Dalam
pembahasan ini saya akan membahas mengenai pemikiran utama dari Asghar Ali
Engineer yang mengenai Islam dan Pembebasan, namun sebelumnya akan sedikit membahas
mengenai sejarah teologi pembebasan, lalu biografi dari Asghar Ali Engineer dan
dilanjutkan dengan pemikiran utamanya.
Sejarah
Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari
teologi dan pembebasan. Secara etimologis, teologi berasal dari theos
yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan
alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai
reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi
ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik dan umum
digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an
Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika
Latin sebagai respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik
saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini melakukan
proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena
mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan
sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas
buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung.
Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi
di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama,
otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan
pandangan-pandangan dari luar.
Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah
dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun
60-an. Mereka ini memimpin “Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada
tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum
paham Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia
de la Liberacion. [2]
Kesadaran tentang keperluan teologi serupa,
rupanya juga muncul di kalangan umat Isslam. Salah satunya adalah Asghar Ali
Engineer, yang akan saya bahas.
Biografi
Asghar Ali Engineer
Asghar
Ali Engineer dilahirkan dalam keluarga muslim yang taat pada 10 Maret 1939 di
Salumba, Rajasthan, dekat Udiapur, dimana Sheikh Qurban Husain, ayahnya menjadi
seorang amil (pegawai yang bekerja di Masjid yang mengelola zakat) pada waktu
itu. dalam pendidikannya Asghar Ali juga telah diberi pendidikan tafsir
Al-Qur’an, ta’wil, fiqh, hadits dan bahasa Arab dari ayahnya, yang selanjutnya
ia menekuni dan mengembangkannya sendiri. [3]
Asghar
juga mendapatkan pendidikan sekular, di samping pendidikan agama, ia adalah
lulusan teknik sipil dari Indore (M.P.) dengan tanda kehormatan, serta mengabdi
selama 20 tahun sebagai seorang insinyur di Korporasi Kota Praja Bombay dan
kemudian mengundurkan diri secara sukarela untuk ikut ke dalam gerakan
reformasi Bohra. Ia mulai memainkan peran penting dalam gerakan reformasi dari
tahun 1972, ketika menjadi pemberontakan di Udiapur.
Asghar
adalah seorang pemikir sekaligus sktivis, dan pemimpin salah satu kelompok
Syi’ah Ismailiyah, Daudi Bohras yang berpusat di Bombay, India. Agar dapat
menyingkap latar belakang keagamaan Asghar menjadi lebi jelas, maka penting untuk
mengenal terlebih dahulu kelompok Daudi Bohras ini. Daudi Bohras adalah sekte
Syi’ah Isma’iliyah yang dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi. Saat ini
Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da’i. Untuk diakui sebagai seorang Da’i
harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok: 1). kualifikasi-kualifikasi
pendidikan; 2). kualifikasi-kualifikasi administratif; 3). kualifikasi-kualifikasi
moral dan teoritikal, dan 4). kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.
Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi itu seorang Da’i harus tampil
sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar Ali
adalah seorang Da’i.[4]
Islam
dan Pembebasan
Islam,
pertama kali datang dengan semangat pembebasan. Pembebasan kaum yang lemah,
miskin, terlantar dan tidak terlindungi dari kekejaman kaum hartawan Mekkah,
yang bertindak sewenang-wenang kepada yang lainnya, karena memiliki kekuasaan
dan kekayaan yang berlebih.
Penindasan
tersebut berawal dari peralihan gaya kehidupan masyarakat Mekkah. Di mana padang
pasir di sekitar Mekkah yang tidak bersahabat membuat beberapa suku merasa
hidup tenang di Mekkah. Namun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan
yang sangat pesat dikarenakan daerah Mekkah yang strategis sebagai jalur
perdagangan, biaya kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu.
Suku-suku padang pasir itu hidup nomadik, karena itu tidak banyakmengembangkan
tradisi pemilikan tradisi pemilikan pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan
dan persenjataan ringan. Kebutuhan mereka pun sangat sederhana sekedar untuk
melangsungkan kehidupan dan ditandai tidak adanya ekonomi uang. Oleh karena
itu, masalah akumulasi dan kekayaan tidak muncul.[5]
Di
satu sisi, masyarakat pedagang yang tergantung pada perluasan ekonomi uang,
masyarakat ini mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak
keuntungan, menumbuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan, dan
kebangkrutan sosial di Mekkah, sesungguhnya berakar dari konflik-konflik ini,
karena cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa yang memiliki
kelihaian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak
kekayaan pribadinya, bahkan membentuk korporasibisnis antar suku dan menerapkan
monopoli di kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka. Sehingga terjadi
penindasan terhadap orang-orang yang lemah dan tidak pandai berdagang dalam
bentuk riba dan perbudakan.
Melihat
hal tersebut Islam yang datang dari Allah melalui Muhammad lahir dalam setting
sosial Mekkah, sebagai sebuha gerakan keagamaan, namun lebih dari itu, ia
sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang
sangat mendalam. Islam dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis
Mekkah.
Dan
harus dicatat, kaum hartawan Mekkah, bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran
keagamaan nabi – sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan
(tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Yang merisaukan
mereka justru implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu yang
akan mengancam kepentingan mereka yankni kepentingan akumulasi kekayaan yang
selama itu berjalan tanpa hambatan.[6]
Teologi
pembebasan yang dihadirkan islam pada masa Nabi pertama kali menyebarkan islam
adalah Din Allah yang berbasis pada Tauhid untuk menyatukan semua rakyat
(antara orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya-miskin)
sehingga menjadi mayarakat “tanpa kelas”.
Namun,
pada fase-fase berikutnya menurut Asghar Ali, Islam kehilangan elan
vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang
pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke
masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam
kemuddian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif
Menurut Asghar, ini dimulai pada zaman Muawiyah.
Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan
pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan
kaum qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah
pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah
ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status
qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini.
Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti
Umayyah memilih faham qadariyah.[7]
Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang
skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir,
menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul
akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan
pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan
secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu.
Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa
ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering
bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang.
Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan
orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif.
Selama abad pertengahan, Islam sarat dengan praksis
feodalistik dan para ulama justru ikut menyokong kemapanan. Mereka lebih banyak
menulis buku tentang ritual ibadah-ibadah ritual dan menghabiskan energi mereka
untuk mengupas masalah-masalah furu’iyah dalam syariah, dan sama sekali
mengecilkan arti elan vital islam dalam menciptakan keadilan sosial dan
kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas.
Sehingga sampai sekarang, islam yag diterima masyarakat adalah Islam yang
kental dengan status quo. Agar Islam menjadi ruh bagi masyarakatnya, maka yang
harus dilakukan sekarang, ujar Asghar adalah menghapus sistem kapitalisme yang
didasarkan pada eksploitasi sesama manusia.
Dari konteks inilah,
maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada
masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan,
Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik
kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak
lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim,
bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas,
mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu,
keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian,
Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat.
Menurut
Asghar teologi pembebasan adalah:
1.
Mesti
dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
2.
Anti
status quo yang melindungi golongan kaya daripada golongan miskin, dan anti
kemapanan baik agama maupun politik.
3.
Membela
kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan
kepentingan mereka dan membekali mereka dengan senjata ideologis yang kuat
untuk melawan para penindas.
4.
Di
samping mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah
umat islam, juga konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri.
Teologi
pembebasan mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar menawar
antara kebebasan manusia dan takdir. Teologi pembebasan lebih menganggap
keduanya sebagai pelengkap daripada sebagai konsep berlawanan. [8]
Daftar
Pustaka
Listiyono Santoso, dkk. 2003. Epistemologi Kiri. Yogyakarta; Ar-Ruzz
Press
Ali, Ashgar Engineer. 1993. Islam dan Pembebasan. Yogyakarta; LKiS
Arwani. 2010. Teologi
Pembebasan Ashgar Ali Engineer. Diakses dari http://algaer.wordpress.com/2010/04/08/teologi-pembebasan-asghar-ali-engineer-2/ pada tanggal 28 Oktober 2014 pukul 17. 15
[1] Arwani.
Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer, diakses dari http://algaer.wordpress.com/2010/04/08/teologi-pembebasan-asghar-ali-engineer-2/
pada tanggal 28 Oktober 2014 pukul 17.15
[2] Ibid
[3]
Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 299
[4] Ibid,
hlm. 301
[5] Asghar
Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, LkiS, Yogyakarta, 1993, hlm 3-4
[6] Ibid,
hlm 5
[7] Op. Cit
[8] Op. Cit
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda