Hermeneutik, apa sebenarnya arti dari kata tersebut? Bagiku kata
ini membingungkan, apalagi ketika saya belum belajar sendiri apa itu
hermeneutika. Sebenarnya saya sudah pernah mendengar kata ini namun masih belum
tahu apa itu, di tambah lagi dalam kehidupan sehari-hari tidak ada kata
tersebut dalam kamus saya, mungkin saya baru mulai lebih mengenal kata
hermeneutik pada saat sekarang ketika ada mata kuliahnya.
Dalam tulisan ini, yaitu kontekstualisasi teori hermeneutika, saya
ingin menuliskan apa arti hermeneutika selama saya belajar hermeneutika dalam
satu semester ini dan salah satu teori hermeneutika Al-qur’an, karena ini
menarik bagaimana teori hermeneutik digunakan para ilmuwan muslim dipakai dalam
kajian islam, karena pada dasarnya hermeneutika bukan produk dari islam namun
dari barat.
Masuk ke kebingunganku terhadap Kata hermeneutik, dalam
perjalananku mempelajari hermeneutika, kata
hermeneutik berasal dari bahasa Yunani ‘hermeneuein’
yang berarti “menafsirka”, dan dari kata hermeneuein ini dapat
ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau
“interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).
Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah satu dewa Yunani, Hermes yang
dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa
di langit untuk membawa pesan kepada manusia.[1]
Ada juga pengertian Hermeneutika secara ringkas biasa diartikan sebagai
“proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengarti”.
Definisi ini sepertinya merupakan definisi umum dan disepakati oleh
hermeneutik, meskipun secara lebih jelas jika melihat terminologinya, kata
hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga hal:
1.
Mengungkapkan
pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai
penafsir.
2.
Usaha
mengalihkan dari satu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam
bahasa lain yang biasa dimengerti oleh si pembaca.
3.
Pemindahan
ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang jelas.[2]
Secara lebih luas hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt Bauman
sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah
ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif
yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. [3]
Selain pengertian umum diatas, lalu seperti apa pengertian
hermeneutik menurut para pemikir yang bergelut dalam bidang ini, Pengertian hermeneutika
menurut Schleiermacher yang merupakan Bapak ilmu Hermeneutika sendiri adalah bahwa
Hermeneutika yaitu seni memahami, namun dalam pernyataan salah satu pembuka
kuliah hermeneutika, schleiermacher mengungkapkan “Hermeneutika sebagai seni
pemahaman ternyata belum menjadi sebuah disiplin umum, hanya sebagai pluralitas
dari hermeneutika tertentu”, dalam pernyataan tersebut disampaikan tujuan
fundamentalnya yaitu untuk meletakkan hermeneutika umum sebagai seni pemahaman.
Seni pemahaman yang diingikan Schleiermacher pada hakikatnya sama, baik itu
teks yang berupa sebuah dokumen hukum, kitab-kitab keagamaan, atau karya
sastra. Meskipun dalam setiap teks terdapat berbagai perbedaan namun dalam
perbedaan ini terdapat kesatuan yang lebih mendasar yaitu teks sesungguhnya ada
dalam bahasa, karenanya gramatika digunakan untuk memperoleh makna sebuah
kalimat, gagasan umum berinteraksi dengan struktur gramatis untuk membentuk
makna, terhadap apapun tipe teks tersebut. Dan umum.[4]
Itulah sedikit pengertian hermeneutik dari apa yang pernah saya
pelajari, dan pengertian yang lebih saya pahami dan membekas dalam hati adalah
bagaimana hermeneutika itu adalah to say, to tranlate, dan to explain, yatiu
bagaimana hermeneutika adalah ilmu bagaimana kita mengatakan, menterjemahkan,
dan menjelaskan apa makna yang tergantung dalam sebuah teks.
Dalam bukunya Fakhruddin Faiz, Hermeneutika adalah satu metode
penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa yang kemudian melangkah kepada
analisa psikologis, historis, dan sosiologis. Jika pendekatan ini dipertemukan
dengan kajian teks Al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi
adalah bagaimana teks Al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami,
ditafsirkan. Diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas
sosial.[5]
Berikut ini adalah salah satu pemerhati Al-Qur’an dari kalangan
umat Islam sendiri yang melakukan kritik historis dan linguistik yang menjadi
ciri khas hermeneutik, yaitu Fazlur Rahman dengan Teori Double movement nya.
Teori ini digunakan oleh Fazlur Rahman untuk memahami dan menafsiri
Al-Qur’an, dimana dibutuhkan kajian terhadap sisi Historis dengan menyajikan
kekinian ke konteks turunnya Al-Qur’an.
Terdapat dua gerak dalam teori double movement ini yaitu tahap awal
diperlukan
kejelian dalam mengungkap peristiwa masa rasulullah kemudian mencari bagaimana
peristiwa itu “direspon” oleh al-Quran. Pada tahap kedua setelah respon
al-Quran ditemukan, kemudian respon tersebut dicari nilai ideal moralnya dan
ditarik kembali pada konteks kekinian untuk ditubuhkan pada masa kini.
Pada tahap
awal, interpretasi al-Qur’an diiringi dengan memahami konteks mikro dan makro.
Konteks mikro adalah sebab turun yang memiliki ketersinggungan dengan turunya
suatu ayat, sedangkan konteks mikro adalah kondisi sosial budaya di sekitar
Arab meliputi situasi budaya, pola interaksi, geografis, politik, dan konteks
lainya yang mengitari turunya al-Qur’an.
Pada gerak
kedua, yakni tahap menarik nilai ideal moral pada masa kekinian, nilai Ideal
moral dirumuskan kemudian dicari nilai relevansinya di masa sekarang apakah
dapat memberikan konstribusi terhadap masalah?. Setelah melakukan relevansi,
tahap berikutnya yang dilakukan dalam melakukan kontekstualisasi saat ini
adalah mencari kemungkinan bahwa nilai ideal moral dapat dibumikan pada
masyarakat.
Nilai ideal
dalam al-Qur’an tentang suatu hal tidak bisa tidak harus berhadapan dengan
budaya tertentu. Walaupun tujuan awal nilai ideal adalah nilai universal
al-Qur’an tentang kemanusiaan dan kedamaian, namun terkadang nilai ini pula
yang sering dianggap bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Bahwa dalam
mengungkap gagasan tertentu, seseorang harus bisa membawa kembali pada pikiran
yang menciptakanya, namun kita tidaklah benar-benar tahu bagaimana pikiran yang
menciptakanya karena kita tidak bisa menjadi Dia. Dari hal ini menunjukan bahwa
kebnaran yang dipikirkan manusia bersifat relativ, kebenaran yang absolut
hanyalah milik tuhan.
Contoh
tentang khamr (minuman beralkohol) Sebagaimana diketahui pada mulanya
Qur'an memandang khamr sebagai karunia Tuhan seperti juga susu dan madu (Q.S.
l6: 66-6g). Setelah umat Islam hijrah ke Madinah beberapa orang sahabat
menyarankan agar Nabi melarang khamr. Untuk menanggapinya, diwahyukanlah
Q.S. 2: 2ig: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi;
katakanlah dalam keduanya itu terdapat bahaya yang besar dan beberapa manfaat
tertentu bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya".
Berikutnya ketika sekelompok orang Ansar minum khamr hingga mabuk dan
oleh karenanya salah seorang di antara mereka keliru dalam membaca Qur'an, maka
segera diikuti dengan turunnya Q.S. 4: 43 yang isinya melarang umat
Islam mendekati salat dalam kondisi mabuk hingga mereka mengerti apa yang
mereka ucapkan. Belakangan dalam sebuah pesta minum-minum terjadi percekcokan
yang menyebabkan perselisihan sengit di antara para sahabat. Segera sesudah itu
diwahyukanlah Q.S. 5: 90-91 "bahwa
khamr, judi, ....... adalah kotor dan termasuk perbuatan syetan ......
syetan hanya ingin membangkitkan permusuhan dan kebencian di antara kalian
melalui khamr dan judi, dan mencegah kalian dari mengingat Allah dan
beribadah kepada-Nya".
Dari
larangan secara bertahap terhadap khamr ini, para fukaha menyimpulkan
bahwa ayat yang terakhir diturunkan me- nasakh ayat yang diwahyukan
lebih dulu. Alasannya ada dalam konsep al-tadarruj fi al-tashrT (law
ofgraduation), artinya Qur'an ingin menghentikan kebiasaan umat Islam
mabuk-mabukan tersebut secara bertahap, bukan dengan cara tiba-tiba. Rahman
mendukung konsep pentahapan larangan ini untuk digunakan memahami sejumlah ayat
yang kelihatan kontradiktif agar dapat dimengerti. Dalam periode Mekkah, umat
Islam sebagai minoritas merupakan sebuah komunitas yang informal, bukan sebagai
sebuah masyarakat. Tampaknya minum khamr di tengah- tengah komunitas ini
sama sekali bukan merupakan kebiasaan yang umum dilakukan. Akan tetapi pada
masa-masa berikutnya ketika banyak tokoh masyarakat Mekkah yang masuk Islam,
banyak di antara mereka yang memiliki kebiasaan minum khamr. Evolusi
dari kelompok minoritas menjadi sebuah komunitas bahkan menjadi sebuah negara yang
informal dibarengi oleh munculnya persoalan konsumsi minuman keras. Oleh karena
itu larangan terakhir Qur'an ditujukan pada setiap bahan yang memabukkan.[6]
Daftar
Pustaka
Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika
Qur’ani: antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta; Penerbit
Qalam
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika
Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Jamal Abdul Aziz. Teori Gerak Ganda (Metode Baru Istimbat Hukum
Al Fazlur Rahman). From digilib.uin-suka.ac.id/.../JAMALABDULAZIZ%20TEORI%20GERAK%
pdf.
[1] Fakhruddin
Faiz. Hermeneutika Qur’ani. Hal 20
[2] Ibid
hal. 21-22
[3] Ibid hal
22
[4] Richard
E. Palmer. Hermneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Hal. 95
[5]
Fakhruddin Faiz. Hermeneutika Qu’ani. Hal. 47
[6] Jamal
Abdul Aziz. Teori Gerak Ganda (Metode Baru Istimbat Hukum Al Fazlur Rahman). From digilib.uin-suka.ac.id/.../JAMALABDULAZIZ%20TEORI%20GERAK%
pdf. Hal 341-342
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda