Dalam makalah ini, saya akan membahas tentang peran
atau fungsi Hermeneutika dalam filsafat barat, dimulai dari abad klasik,
pertengahan, hingga modern.Pembuatan makalah ini diambil dari buku
“Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” karya Inyiak Ridwan Muzir dan
“Hermeneutika” karya Roy J.Howard.
A.
Hermeneutika dalam zaman klasik
Hermeneutika menurut sejarawan modern pertama, Wilhelm Dilthey
menyatakan bahwa istilah itu muncul pada abad ke-16 pada masa pengikut Luther
yang mengemukakan hermenutika sebagai teori penafsiran teks bible dan sekaligus
respons terhadap keteguhan Katolikisme yang berpegang pada otoritas gereja
dalam menafsirkannya.Kemudian Hermenutika pertama kali diperkenalkan di dalam
budaya barat (eropa) dalam bentuk kata latin hermeneutica oleh seorang
teolog dari starsbourg bernama Johann Dannhauer. Johann memakainya dalam
pengertian disiplin yang diperlukan setiap ilmu yang mendasarkan keabsahannya
pada teks.
Pada masa Yunani Kuno, Plato menggunakan hermeneutika untuk
menajelaskan makna ramalan dari seorang peramal, layaknya nabi di antara Tuhan
dan makhluk dalam artian “penyambung lidah”.Dia(Penafsir) memang menjadi
penyambung lidah, dia memang bisa menjelaskan isi ramalan atau wahyu, namun
tidak bisa menyatakan dengan pasti apakah yang dikatakan ramalan itu terbukti
benar atau tidak.
Kemudian
pada abad pertengahan, istilah hermeneutika muncul dan menjadi baku di Eropa
pada abad ke- 17.Istilah ini berarti sebuah disiplin yang diperlukan untuk
menafsirkan kitab suci Bibel.Kegunaan hermeneutika ini muncul akibat perbedaan
pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir abad tengah
Eropa.Pertama yaitu Katolik sebagai pemegang status quo yaitu orang awam
dilarang menafsirkan kitab suci selain Magisterium yaitu para ahli agama yang
berpusat di Roma.Kedua gerakan reformasi oleh Martin Luther, menurutnya,
manusia yang mempunyai iman dan mau membaca kitab sucilah yang berhak
menafsirkan kandungannya.Namun Luther sendiri tidak pernah merumuskan juga
menuliskan pemikiran teoretisnya menyangkut persoalan penafsiran dan
hermeneutika.
De
doctrina Christiana, adalah karya pertama Santo Agustinus
yang secara teoretis mengemukakan konsep hermeneutis menyangkut hubungan antara
bahasa dan pikiran manusia dengan melandaskan diri pada doktrin inkarnasi dalam
tradisi Kristen. Konsep itu adalah actus signatus dan actus exercitus. Kedua
konsep ini lahir dari dua macam “kata”, yaitu kata yang diucapkan dan kata yang
ada dalam pikiran.Dicontohkan, ketika seseorang mengucapkan sebuah kata(verbum
exterius), saat itu yang dilakukannya adalah tindak memberi tanda(actus
signatus) terhadap apa yang dia maksudkan dalam pikirannya.Buah pikiran
yang ada dalam pikirannya tersusun dalam bentuk kata-kata batiniah(verbum
interius). Kata-kata batiniah ini bentuknya sangat abstrak dan hanya bisa
dipahami dalam konteks yang juga bersifat batiniah, ketika ingin diungkapkan
keluar melalui ucapan, ketika itu yang dipilih adalah kata jasmani(verbum
exterius) dan tindakan itu disebut actus signatus. Bagaimana memilih
kata-kata batin tadi kemudian mengungkapkannya inilah yang disebut Agustinus
dengan actus exercitus.Menurut Gadamer, Santo Agustinus adalah satu-satunya
pengecualian dalam pemikiran Barat yang tidak melupakan Bahasa.[1]
B.
Hermeneutika
di Zaman Modern
Tokoh
Hermeneutika pada abad modern ini adalah Wilhelm Dilthey.Di dalam karyanya
tentang teks-teks Yunani dan Bible, Friedrich Schleiermacher menyadari bahwa perangkat
para ahli filologi hanya berhasil dalam menerangkan tataran permukaan atau
hanya pada tingkat “kosa kata” teks tataran “gramatika” atau tataran
“komparatif”.Para ahli filologi tidak mampu mengungkapkan wawasan khusus
pengarang, yang menjadi alasan utama untuk membuat komposisi karangan itu, dan
yang memberikan keutuhan pada bagian-bagian komposisi karangan itu.Tataran
spiritual yang lebih mendalam ini oleh Friedrich Schleiermacher disebut tataran
“divinasi” atau tataran”psikologis”.
Friedrich
Schleiermacher berargumen bahwa memahami seorang penulis berarti lebih dari
memahami kata-katanya.Ini berarti memahami jiwa yang memprakarsai dan
mengendalikan tulisannya.”Kosa kata” pengarang adalah juga milik rekan-rekan
sezamannya dan juga lingkungan ilmiah dan lingkungan budaya tempat ia hidup.[2]
Kembali
pada Wilhelm Dilthey, dalam hermeneutikanya, yang dipersoalkan adalah siapa
yang mengatakan, bukan apa yang dikatakan.Karenanya, hermeneutikanya ini selalu
menjarak dari persoalan “teks”, dari pengertiannya, dari rujukannya, dan selalu
mengarah pada pengalaman hidup yang diekspresikan disitu.
C.
Kesimpulan
Seperti
yang kita ketahui, filsafat barat yang mencakup wilayah Eropa, terdapat tiga
fase dalam perjalanannya, pertama Abad Yunani Kuno, kedua Abad Pertengahan,
ketiga Abad Modern.Kaitannya dengan Hermeneutika, pada fase Yunani Kuno,
diwakili oleh Plato.Corak awal hermeneutika pada masa Plato hanya berpatokan
pada menjelaskan makna baik itu ramalan ataupun wahyu dari seorang
peramal/nabi.Selanjutnya pada Abad Pertengahan diwakili oleh Santo Aurelius
Agustinus yang menggunakan corak hermeneutikanya berupa hubungan antara bahasa
dan pikiran manusia.Terkahir pada Abad Modern diwakili oleh Wilhem Dilthey yang
menggunakan hermeneutikanya berupa kritik terhadap penulis, ketimbang apa yang
ditulisnya.Disini kita melihat peranan Hermeneutika dalam filsafat Barat dari
setiap fase yang memiliki ke-khas san atau corak tersendiri.
Daftar
Pustaka
Muzir,
Inyiak Ridwan. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Jogjakarta;
Ar-Ruzz Media
Howard
Roy J, 2000, Hermeneutik, Bandung; Penerbit Nuansa.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda