Biografi
Ismail Raji al-Faruqi lahir pada tanggal 1 Januari
1921 di Jaffa, Palestina. Ia memulai pendidikannya di College de Freres
Libanon, dan pada tahun 1941 melanjutkan pendidikannya ke America University,
Beirut. Dan pada universitas ini lah ia mendapatkan gelar sarjananya pada usia
20 tahun, setelah itu dia bekerja sebagai pegawai pemerintahan Palestina
dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan ia juga pernah menjadi gubernur
di daerah Galilie yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947.
Setelah kejadian tersebut, tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan pindah ke
Amerika Serikat dan melanjutkan studinya di sana.
Di Amerika Serikat ia melanjutkan studi di Indiana
University pada tahun 1948, hingga mendapatkan gelar master dalam bidang
filsafat. Dua tahun berikutnya ia kembali memperoleh gelar master lagi di
Harvard University, dalam bidang filsafat juga. Empat tahun setelahnya, untuk
memperdalam ilmu keislamannya ia menuntu ilmu di Al-Azhar University, Kairo
Mesir. Pada tahun 1958-1961, ia mejadi profesor tamu untuk studi keislaman di
McGill University dan di Pana Central institute of Islamic Research, Karachi,
sebagai tamu untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama.
Selama masa hidupnya, Al-Faruqi pernah memegang
beberapa jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai seorang ilmuwan.
Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur
Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut International pemikir
islam di Washington; dan presiden institut Studi Lanjutan Washington.
Namun, pada tahun 1986, Al-Faruqi meninggal dunia
bersama istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh
orang yang tidak dikenal, di rumah mereka di Wyncote, Philadelphia.
Pemikiran
Al-Faruqi tentang Hakikat Hijrah
Hijrah secara harfiah berarti “perpindahan ke lain
negeri” atau “pemisahan diri dari handai tolan atau negeri asal”. Secara
tekhnis, yakni secara islami, “Hijrah” bermakna keberangkatan Nabi Muhammad
saw. dari Mekkah, tempat kelahirannya, ke Yastrib yang sejak saat itu lebih
dikenal sebagai “Madinat al-Nabiyy” atau “al-Madinah al-Munawarah”.
Al-Faruqi berpendapat lazimnya, pengertian paling
populer tentang Hijrah di kalangan kaum muslim berkisar pada dikejarnya Nabi
dan sahabat-sahabat beliau oleh orang-orang Mekkah, yang dari sudut pandang ini
Hijrah tampak seperti penghindaran dari bahaya yang mengancam. Seperti Hijrah
yang pertama kali dilakukan oleh umat islam pada 615 M ke negeri Habasyah, kata
hijrah pada konteks itu adalah benar, yaitu perpindahan dua belas pria dan
empat wanita Muslim dari Mekkah ke Habasyah.
Menurut Al-Faruqi, kaum Muslim membedakan antara
hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslimin ke Habasyah dan Hijrah kedua yang
dilakukan Nabi ke Madinah. Mereka menganggap hijrah kedua jauh lebih penting
daripada hijrah pertama karena Hijrah pertama hanya merupakan pelarian pasif
menuju keselamatan, sedang Hijrah kedua merupakan suatu langkah dalam upaya
mengubah dunia dan mengarahkan sejarahnya ke arah baru.
Kata hijrah juga tidak terbatas pada
kejadian-kejadian dalam sejarah selama ini, tapi dapat juga diterapkan ke dalam
kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat sekarang. Menurut paham saya hijrah
itu juga memiliki arti berpindah dari keadaan buruk ke keadaan yang baik,
seperti kitab suci Al-Qur’an menggunakan perubahan-perubahan istilah “hijrah”
dalam perintahnya untuk menghindar dari keburukan, contohnya berpaling dari
istri yang tidak patuh, tidak mengabaikan Al-Qur’an, untuk meninggalkan
orangtua yang tak beriman dengan cara baik-baik bukan dengan melukai hatinya,
kembali kepada Tuhan dengan harapan mendapatkan petunjuk-Nya. Dalam pikiran
kaum Muslim, arti-arti etis-religius melebihi arti biasa hajara (berpindah),
hijrah menjadi praktek keagamaan terbesar, yaitu untuk meninggalkan
tuntutan-tuntutan keduniaan demi kesalehan.
Selanjutnya mengenai Iqamat (perayaan) Hijrah, merayakan
hijrah merupakan suatu kesempatan tahunan untuk menghidupkan kembali pengalaman
Nabi saw. yang penuh makna, karena pengalaman nabi merupakan sumber yang tidak
pernah kering dari nilai-nilai tertinggi kesalehan dan akhlak. Merayakan Hijrah
juga merupakan suatu kesempatan untuk memungkinkan nilai-nilai yang ada pada
pengalaman itu tumbuh dan memacu jiwa, mempercepat kesadaran sehingga hal itu
bisa dipahami dalam konteks kehidupan dan pengalaman kini. Al-Faruqi menganggap bahwa perayaan hijrah
tidak terbatas pada tanggal dan peristiwanya di kalender, namun perayaan hijrah dapat dilakukan kapan saja tiap hari
sepanjang tahun dengan cara selalu mencoba mengaplikasikan semangat Hijrah Nabi
saw pada kehidupan sehari-hari kita.
Selama 12 tahun sebelum Hijrah, nabi tak pernah
berhenti mengajarkan apa yang beliau terima dari Allah swt. Melalui wahyu Allah
mengajarkan Nabi pelajaran dan menanamkan kepadanya suatu pendangan yang mesti
beliau sampaikan kepada umat. Pandangan ini yang terungkap dalam kalimat pendek
syahadat beliau, merupakan suatu filsafat yang menyeluruh, suatu pandangan
tentang kenyataan dan kehidupan, tentang asal usul dan tujuan. Ia lahir sebagai
kebenaran, mesti mengetahui dan menerapkannya untuk mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Bagian pertama syahadat ialah: La ilaha illa Allah, tiada tuhan selain Allah; bagian kedua: Muhammad rasul Allah, Muhammad utusan
Allah, artinya apa yang dibawa oleh Nabi saw. itu semata-mata firman Allah yang
diwahyukan kepada beliau. “Tidak ada
Tuhan selain Allah” bukanlah merupakan pengulangan yang tak berguna,
sekalipun pendek namun ia mencakup semua unsur agama islam:
1. Allah
SWT adalah pencipta, tujuan akhir, pemelihara, dan Maha kuasa. Dia menciptakan
segala sesuatu dari ketiadaan. Dia menyebabkan kemaujudan segala sesuatu dan
segala kejadian. Dia adalah Tuhan dan penguasa, yang perintah-Nya berlaku bagi
ciptaan dan membentuk hukum serta polanya, yang merupakan suatu dunia sempurna
karena Dia adalah Perancang, Pewujud, dan Pembuatnya. Tak satu pun berada
diluar ketentuan-Nya, ketentuan-Nya tak bercacat. Adapun keteraturan yang
terdapat pada ciptaan sudah diketahui-Nya lebih dahulu karena dia adalah
pembuatnya, tidak ada yang maujud dengan sendirinya, kecuali Dia.
2. Allah
SWT adalah kebaikan utama, Sumber Utama segala kebaikan. Dia adalah “Akhir”
dari segala yang akhir, tujuan akhir segala sesuatu. Makhluk tercipta karena
Dia. Segalanya tunduk kepada-Nya. Itulah makna tunggal keberadaan makhluk. Pada
ciptaan tiada kesia-siaan.
3. Karena
Allah manusia ada. Manusia adalah khalifah atau wakil Allah, diciptakan dengan
sempurna, dilengkapi dengan segala sarana, disediakan hal-hal yang diperlukan
untuk mengabdi kepada-Nya; pengabdian ini berarti berbuat kebajikan di dunia
ini, di dalam kehidupan ini, di dalam sejarah ini, pengejawantahan pola Allah,
yaitu membangun kebudayaan dan peradaban, mengisi dunia dengan nilai-nilai,
membentuk dan melestarikan kejeniusan, kepahlawanan, kesucian, mewujudkan
kebenaran, keadilan dan keindahan serta memelihara semua itu sebagai perwujudan
akhir kemutlakan dalam sejarah.
4. Keadilan
Allah itu mutlak dan kebebasab manusia untuk patuh atau ingkar dan merusak
pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Manusia akan memperoleh apa
yang patut diperolehnya, apa niat dan tindakannya.
Jadi inti dari hakikat hijrah adalah bahwa hijrah
bukanlah sekedar peristiwa sejarah, penghindaran dari pengejaran orang-orang
Mekkah dan rencana pembunuhan, suatu kemestian yang tak dikehendaki-pendeknya
suatu peluputan- tapi ia adalah akibat logis dari diterimanya keseluruhan wahyu
di Mekkah, puncak persiapan gerakan dunia Islam. Oleh sebab itu, setibanya Nabi
tiba di Madinah, sebelum adanya tempat tinggal bagi beliau dan keluarganya,
hari pertama Hijrah beliau bermusyawarah dengan para sahabtanya, dengan kaum
Muslim Madinah, dengan pemimpin-pemimpin kaum Auz dan Khazraj, dengan orang
Yahudi dan yang bukan Muslim, dengan suku-suku yang tinggal di dalam dan
sekitar Madinah dan mencapai kesepakatan ini secara tertulis (Perjanjian
Madinah) yang beliau diktekan sendiri dan disetujui oleh semua pihak.
Penandatanganan perjanjian ini merupakan berdirinya
negara islami pertama dan pengesahannya dengan konstitusi tertulis dan lengkap.
Hijrah juga melahirkan suatu masyarakat majemuk dengan sistem hukum yang
majemuk pula yang memungkinkan setiap penyusunan konstitusi untuk menata
warganya menurut agama, kebiasaan, dan tingkat kecerdasan masing-masing, untuk
mengembangkan pranata-pranatanya sendiri. Terlebih Hijrah membuat Islam menjadi
suatu kemaujudan hukum, sosial, ekonomi, politik, dan militer, suatu negara.
Kesimpulan
Hakikat hijrah adalah mewujudkan adanya subuah
negara islam sebagai kekuatan di dunia, suatu negara yang potensial dan
menugaskannya untuk mendirikan suatu tatanan dunia baru, menyejahterakan umat
manusia, menjamin kemerdekaan manusia sehingga mereka mantap dan termantapkan
oleh kebenaran.
Dengan semua ini, Hijrah merupakan ukuran dan cap
islam. Ia merupakan perwujudan-nyata Islam yang mencakup ruang dan waktu. Tak
seorang pun menjadi Muslim bila ia hanya secara sembunyi berhubungan dengan
Allah SWT. Islam menegaskan, bila berhubungan dengan Allah SWT mesti mengabdi
dan patuh kepada-Nya, dan hal itu diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata di
setiap waktu dan tempat, sesuai dengan kandungan wahyu. Karena itu Allah SWT
dalam firmannya selalu mengaitkan iman dan amal setiap kali kata iman disebut di
dalam Al-Qur’an. Iman, keyakinan akan
kebenaran hanyalah suatu syarat, suatu persiapan untuk beramal.
Data Buku
Judul
Buku : Hakikat Hijrah
Penulis :
Prof. Ismail Raji’ Al-Faruqi
Penerjemah
: Drs. Badri Saleh
Cetakan : cetakan ke-3
Tahun : 1994
Kota : Bandung
Penerbit : Mizan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda