(The Wonderfull World)

gr

.

RSS

Pengantar Filsafat Hukum



 RESUME
Data Buku :
Judul               : Pengantar Filsafat Hukum
Pengarang       : Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, SH, S.Sos, LL.M. dan Ira Thania, SH.
Tahun              : 2002
Kota                : Bandung
Penerbit           : Mandar Maju 
BAB I
PENGERTIAN, TEMPAT, SERTA MANFAAT FILSAFAT HUKUM
Pengertian
Pengertian filsafat hukum menurut beberapa tokoh, yaitu:
1.      Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, merumuskan filsafat hukum sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai.
2.      Satjipto Rahardjo, mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan mengenai itu.
3.      Gustav Radbruch (1952), merumuskan bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar.
4.      Langemeyer (1948), filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.
5.      Van Apaldoorn (1975) menguraikan, filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: Apakah Hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya kita tanggapi tentang hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dengan mendesak pada tiap-tiap manusia yang memikirkan keadilan dan ketidakadilan, kita akan berhenti sebenarnya pada masalah pokok tentang filsafat hukum itu, tentunya bukan untuk segera memberikan jawaban, melainkan hanya dengan harapan, membangkitakan perhatian untuk soal itu (keadilan dan ketidakadilan).
6.      E. Utrecht (1966), filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? Apakah keadilan yang menjadi tolak ukur untuk baik buruknya hukum itu?. Filsafat hukum berusaha mencari suatu rechtsideaal yang dapat menjadi ‘dasar umum’ dan ‘etis’ bagi berlakunya hukum positif pada suatu masyarakat.
7.      L. Bender O.P. (1948), filsafat hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari berbagai bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut juga etika. Obyek dari bagian utama ini ialah tingkah laku manusia dari segi baik dan buruk yang khas, yang ditemukan dalam tingkah laku manusia, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan, menurut keyakinannya filsafat hukum itu adalah bagian dari filsafat moral atau etika tersebut.
Tempat Filsafat Hukum dalam Kerangka Filsafat pada Umumnya
Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Hanya ada hukum jika ada manusia, yaitu manusia dalam pergaulannya dengan yang lain. Akibat kebergantungan hukum pada manusia ini, maka hanya mungkin orang berfilsafat tentang hukum apabila terlebih dahulu berfilsafat tentang manusia. Sebab, salah satu aspek dari manusia yang sangat erat kaitannya adalah tingkah lakunya, melalui filsafat tingkah laku ini, atau filsafat etika, laku orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian, dalam pohon filsafat manusia, maka filsafat etika merupakan salah satu cabangnya, sedangkan filsafat hukum lebih lanjut merupakan cabang dari filsafat etika ini atau merupakan salah satu ranting dari filsafat manusia tadi.
Sering kali juga orang mengatakan bahwa filsafat manusia itu merupakan genus filsafat, sedangkan filsafat etika adalah species filsafat yang memiliki filsafat hukum sebagai sub-species-nya. Filsafat hukum mempelajari sebagian tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku yang akibatnya diatur oleh hukum.
Manfaat Filsafat Hukum
Seringkali orang beranggapan bahwa mempelajari filsafta hukum sama saja dengan mempelajari filsafat, sukar dihayati dan tidka terlihat manfaatnya secara langsung. Anggapan ini ada benarnya, terutama bagi mereka yang tergolong praktisi hukum, yaitu yang tugasnya melaksanakan hukum positif. Bagi mereka ini manfaat filsafat hukum paling tidak adalah untuk mengimbangi efek dari spesialisasi yang sempit yang diperoleh mereka disebabkan oleh adanya program spesialisasi yang dimulai di fakultas-fakultas hukum pada tahun keempat.
Bagi mereka yang bergerak di dunia teoritisi dan yang tugas pokoknya dalam lingkup pembentukan atau pembinaan hukum, amatlah besar manfaat mempelajari filsafat hukum . dan lagi pada dewasa ini tampaknya harus dikesampingkan anggapan bahwa tidak ada guna praktisnya mempelajari filsafat hukum apabila kenyataan menunjukkan bahwa semenjak abad kedua puluh, melalui ajaran-ajaran Sosiological Jurisprudence dan Pragmatic Legal Realism ditonjolkan peranan hukum yang semakin meningkat, yaitu bukan semata-mata menjaga ketertiban dan mewujudkan keadilan saja, melainkan juga dapat berfungsi sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
Terdapat berbagai periodisasi atau pembabakan perkembangan filsafat hukum dari dahulu hingga saat ini. Pada umumnya pembabakan itu terdiri dari:
1.      Zaman Purbakala
a.       Masa Yunani
1)      Masa Pra-Socrates (±500 SM)
Pada masa ini diperkirakan belum ada filsafat hukum karena perhatian para filsuf lebih ditujukan kepada alam semesta, yaitu apa yang sesungguhnya menjadi inti alam semesta.
2)      Masa Socrates, Plato, dan Aristoteles
Diperkirakan filsafat hukum lahir pada masa ini dan berkembang mencapai puncak kegemilangannya melalui filsuf-filsuf besar setelah Socrates, yaitu Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya di zaman Yunani dan Romawi, diantara masa tersebut, masa Yunani merupakan masa yang amat subur bagi pertumbuhan filsafat hukum.
3)      Masa Stoa
Masa ini ditandai dengan adanya mazhab Stoa, yaitu suatu mazhab yang mempunyai kebiasaan memberi pelajaran di lorong-lorong tonggak (stoa). Pemikir utamanya yang juga sebagai pemimpin mazhab adalah filsuf Zeno. Dengan mengambil sebagian ajaran Aristoteles, yaitu bahwa akal manusia itu merupakan bagian dari rasio alam, dikembangkan suatu pemikiran hukum alam yang bersumber dari akal ketuhanan (logos dimana manusia dimungkinkan hidup menyesuaikan diri padanya). Hukum alam itu merupakan dasar segala hukum positif.
b.      Masa Romawi
Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa Yunani, para ahli filsuf Romawi lenih memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana hendak mempertahankan ketertiban di seluruh kawasan Romawi yang sangat luas itu. Mereka dituntut untuk lebih banyak menyumbangkan konsep-konsep dan teknik-teknik yang berkaitan dnegan hukum positif.
2.      Abad Pertengahan
a.       Masa Gelap
Pada masa ini pengaruh agama Kristen mulai berkembang pesat disebabkan oleh suasana kehidupan suku-suku waktu itu yang selalu tidak tentram akibat peperangan yang terus menerus terjadi di kalangan mereka sendiri atau di antara suku-suku. Manusia dalam keadaan serupa itu memerlukan adanya ketentraman dan kedamaian, memerlukan adanya suatu pegangan hidup yang akan mengakhiri ketidaktentraman, dan agama Kristen memenuhi semua tuntutan tersebut pada masa itu.
b.      Masa Skolastik
Corak pemikiran hukum pada masa skolastik didasari oleh ajaran kristen. Ajaran ini dimulai setelah lahirnya mazhab baru yang disebut Neo-Platonisme, dengan Plotinus sebagai tokoh utamanya. Plotinus inilah yang membangun suatu tata filsafat yang bersifat ketuhanan.
3.      Zaman Renaissance dan Zaman Baru
Dalam dunia pemikiran hukum, zaman ini ditandai dengan adanya pendapat bahwa akal manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari akal Tuhan. Akal manusia terlepas dari akal ketuhanan. Akal manusia inilah yang merupakan satu-satunya sumber dari hukum.
4.      Zaman Modern
Gerakan kodifikasi pada zaman baru, sebagai akibat tampilnya unsur logika manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan. Hal ini disebabkan oleh tertinggalnya kodifikasi itu oleh perkembnagan masyarakat. Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong orang mencari keadilan melalui filsafat hukum.
BAB III
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT (TEORI) HUKUM
Pengertian
Kata Jurisorudence berasal dari kata latin Juris yang artinya hukum, dan prudence yang berarti pengetahuan. Dengan demikian,  jurisprudence dapat diartikan sebagai ‘pengetahuan tentang hukum’.
Ruang Lingkup Penyelidikan Filsafat (teori) Hukum
Apa yang menjadi ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum, hingga saat ini juga masih dipersoalkan para ahlinya, bahwa belum terdapat kata sepakat, untuk mudahnya dapat dilihat materi yang dibahas pada literatur-literatur yang menggunakan kata jurisprudence sebagai judulnya.
Contoh, Lord Lloyd of Hampstead, introduction to jurisprudence, membahas secara garis besarnya: (1). Nature of jurisprudence; (2). Meaning of Law; (3). Natural Law; (4). Positivism, analytical jurisprudence and the concept of law; (5). Pure theory of law; (6). Sosiological school; (7). American relism; (8). The Scandanavian realist; (9) Historical and anthropological jurisprudence; (10). Marxist theory of law and socialist legality; (11). Juricial process.
Kegunaan Mempelajari Filsafat (teori) Hukum
1.      Filsafat (teori) hukum merupakan obyek studi yang menarik yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang sungguh-sungguh ingin mempelajarinya.
2.      Penelitian-penelitian di bidang Filsafat (teori) hukum memiliki manfaat bagi disiplin-disiplin ilmu lainnya.
3.      Filsafat (teori) hukum juga memiliki nilai praktis. Di bidang hukum generalisasi bermakna kemajuan-kemajuan atau perkembangan. Hal ini dapat menyatukan atau menyarankan pengunaan konsep-konsep dasar yang sama guna mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka ragam masalah sosial dengan hanya menggunakan satu teknik. Jadi kompleksitas hukum lebih dapat dikendalikan dan lebih rasional, yaitu teori dapat membantu dalam praktek.
4.      Filsafat (teori) hukum akan membawa para ahli hukum dari cara berpikir hukum secara formal ke realitas soaial. Ini berarti bahwa dalam menerapkan hukum perjanjian misalnya, para ahli hukum memerlukan pula pengetahuan di bidang ekonomi, krimonilogi, pidana, psikiatri, sosiologi, dan sebagainya.
5.      Filsafat (teori) hukum dapat membawa para ahli hukum untuk melihat jauh ke depan. Mereka akan selalu menyesuaikan kebijaksanaan itu dengan keperluan-keperluan sosial yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
BAB IV
APAKAH HUKUM ITU?
Pendefinisian Hukum
Suatu masalah yang belum mencapai kata putus diantara para ahli hukum ialah tentang pendefinisian hukum. Hingga saat ini pendapat tentang perlunya suatu definisi hukum masih dipertentangkan orang. Para ahli hukum berpendaat bahwa perumusan tentang hukum yang dapat mencakup segala segi dari hukum yang luas itu memang tidak mungkin dibuat. Sebab suatu definisi tentunya memerlukan berbagai persyaratan seperti jumlah kata yang digunakan yang sedapat mungkin tidak terlalu banyak, mudah dipahami. Pokoknya pndek, singkat, dan jelas.
Kaidah Hukum dan Kaidah Sosial Lainnya
Kaidah-kaidah ataupun tatanan-tatanan yang mengatur pergaulan hidup manusia itu bermacam-macam. Satjipto Rahardjo (1982), mengemukakan tiga macam Kaidah, yaitu Kaidah Kebiasaan, Hukum, dan Kesusilaan.  Lebih lanjut makna dari masing-masing kaidah atau tatanan tersebut diatas sebagai berikut:
Kaidah Kebiasaan, terdiri dari norma-norma yang hubungannya dengan kenyataan dekat sekali. Kaidah ini merupakan kaidah yang diangkat dari dunia kenyataan, yaitu apa yang biasa dilakukan orang-orang. Kaidah Hukum, pada kaidah ini terlihatnya suatu pergeseran, yaitu terjadinya suatu proses penjauhan dan pelepasan diri dari tatanan yang berpegang pada kenyataan sehari-hari (tatanan kebiasaan) walau berjalannya proses ini belum berlaku secara maksimal. Kaidah Kesusilaan, merupakan suatu kaidah yang dalam hubungannya dengan dunia ideal dan kenyataan berada dalam posisi sebaliknya daripada kaidah kebiasaan, apabila kaidah kebiasaan sepenuhnya berpegang pada kenyataan tingkah laku sehari-hari, maka kaidah kesusilaan berpegang sepenuhnya kepada dunia ideal yang sifatnya abstrak, yang perlu diwujudkan dalam masyarakat.
Berbagai Teori tentang Hukum
Kita mengenal berbagai klasifikasi teori hukum yang dibuat oleh para penulis hukum. Northrop, misalnya. Mengklasifikasikan ajaran atau aliran hukum ke dalam positivisme hukum, pragmatic legal realism, neo-Kantian dan Kelsenian ethical jurisprudence, functional anthropological dan sociological jurisprudence, dan hukum alam (Lili Rasyidi, 1982:22). Friedmann (170) membagi aliran tersebut atas aliran hukum alam, aliran yang didasarkan pada filsafat masalah keadilan, aliran yang didasarkan pada pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum, aliran positivisme dan positivisme hukum, dan aliran yang didasarkan atas kegunaan dan- kepentingan. Soerjono Soekanto (1980:37-47) menyebutkan: mazhab formalitas, mazhab sejarah dan kebudayaan, aliran utilitarianisme, aliran sociological jurisprudence, dan aliran realisme hukum. Satjipto Rahardjo (1982:226-272) mengetengahkan teori-teori Yunani dan Romawi, hukum alam, positivisme dan utilitarianisme, teori hukum murni, pendekatan-pendekatan sejarah dan antropologis, dan pendekatan-pendekatan sosiologis. Selain itu ada pula yang mengklasifikasikan aliran-aliran tersebut hanya ke dalam yang paling berpengaruh saja, yaitu aliran hukum alam, aliran hukum positif, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan pragmatic legal realism (Lili Rasjidi, 1985:27).
1.      Aliran Hukum Alam
Yang dimaksudkan dengan hukum alam menurut ajaran ini ialah hukum yang berlaku universal dan abadi. Menilik sumbernya, hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan Irasional) dan yang bersumber dari akal (rasio) manusia.
Hukum alam sebagai substansi (isi) berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas yang mutlak yang lazim dikenal sebagai peraturan hak-hak asasi manusia. Ciri hukum alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke-17 dan ke-18, untuk kemudian pada abad berikutnya digantikan oleh ajaran positivisme hukum.
2.      Aliran Positivisme Hukum
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan antara hukum dan moral, maka aliran hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut merupakan dua hal  yang harus dipisahkan
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the Lawgiver (perintah dari pem- bentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik-buruk.
3.      Aliran Utilitarianisme
Telah dikemukakan bahwa tokoh terkemuka dari aliran ini ialah Jeremy Bentham (1748-1832) di samping juga John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering (1818-1889).
Jeremy Bentham menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan hukum, yaitu: manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik-buruknya suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak (Soerjono Soekanto, 1980:43). Pemidanaan, menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan Untuk mencegah dilakukannya penyeranganpenyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar (Satjipto Rahardjo, 1982:239).
4.      Mazhab Sejarah
“Ada dua pengaruh terhadap lahirnya mazhab ini, yakni pengaruh Montesqueu dalam bukunya L’esprit de Lois yang telah terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul pada away abad ke-119. Lahirnya mazhab ini juga merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi Uber Die Notwendigkeit Eines Allgemeinen Burgelichen Rechts Fur Deutschland” – keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata bagi Jerman. Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar di Jerman diperlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (Code Napoleon). Seperti diketahui, setelah Prancis meninggalkan Jerman timbul-masalah, hukum apa yang hendak diberlakukan di negara ini. Juga merupakan suatu reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.” (Lili Rasjidi, 1982:40-41).
Pada bagian lain dari karangannya -itu von Savigny menegaskan inti ajarannya bahwa das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke – hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Pandangannya bertitiktolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki suatu Volksgeist – jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminannya nampak pada kebudayaannya masing-masing yang berbeda-beda. Hukum bersumber dari jiwa rakyat ini; oleh karena itu hukum itu akan berbeda pada setiap waktu dan tempat. Tidaklah masuk akal kalau terdapat hukum yang sifatnya universal dan abadi. Selanjutnya von Savigny mengatakan bahwa apa yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat yang kompleks, di mana kesadaran hukum rakyat nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya.
5.      Aliran Sosiological Jurisprudence
Aliran sociological jurisprudence dapat dikatakan sebagai salah satu aliran dari berbagai-bagai pendekatan. Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika, dan dipelopori oleh Roscoe Pound dengan karya-karyanya yang terkenal seperti Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence (1912), Outline of Lectures on Jurisprudence (1903), The Spirit of Common Law (1921), An Introduction to the Philosophy of Law (1922), The Task of Law (1944), Interpretations of Legal History (1923), dan lain-lain. Tokoh-tokoh lainnya antara lain Benjamin Cardozo dan Kantorowics.
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran sociological jurisprudence ini tergolong aliran-aliran sosiologis di bidang hukum yang di Benua Eropa dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), yang mula pertama menulis tentang hukum dipandang dari sudut sosiologi dengan judul Grundlegung der Soziologie des Rechts (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Walter L. Moll: Fundamental Principles of the Sociology of Law, pada tahun 1936).
Dalam mencoba menelaah antara sosiologi hukum Eropa dan sociological jurisprudence di Amerika Serikat, dalam kata pengantar untuk buku Gurvitch, Roscoe Pound antara lain menulis bahwa terdapat sedikit perbedaan. cara pendekatan antara keduanya. Sosiologi hukum itu merupakan cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh timbal-balik antara hukum dan masyarakat dengan titik tolak pendekatannya dari masyarakat ke hukum, sedangkan sociological jurisprudence merupakan suatu teori hukum yang mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat, dan sebagainya, dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat.
Dengan berpegang pada ajaran tersebut, Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selain itu, dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books). (Soerjono Soekanto, 1980:45).
6.      Aliran Realism Hukum
Beberapa tokoh terkenal disebut-sebut sebagai pendasar aliran ini. Tokoh-tokoh termaksud ialah: John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James, dan lain-lain. Beberapa penulis memasukkan pula Roscoe Pound ke aliran ini selain sebagai pendasar aliran sociological jurisprudence. Hal ini barangkali berkaitan dengan anggapannya yang tidak mengesampingkan faktor akal dalam pembentukan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran positivisme hukum dan teori lainnya yang terkenal, bahwa hukum itu merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering).
Oleh Llewellyn (Friedmann, 1970:292) mengemukakan ciri-ciri aliran ini, yaitu:
a.       Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b.      Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
c.       Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein untuk keperluan suatu penyelidikan.  Agar penyelidikan itu . mempunyai tujuan, maka hendaknya’ diperhatikan adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
d.      Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan : yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme rnenciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan .keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
e.       Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama akibatnya. (Lili Rasjidi, 1985:49-50).

BAB V
BEBERAPA PERMASALAHAN YANG DIKAJI FILSAFAT HUKUM

Masalah Hukum dan Kekuasaan
Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskansecara singkat dalam slogan sebagai berikut:
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di suatu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa . Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah satu sumber kekuasaan. Selain itu hukum pun merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk, yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya. Contoh yang popular misalnya sepakterjang para raja absolute dan dictator. Atau bukan hanya raja bahkan presiden pun jika tidak dibatasi dengan baik bisa berbuat semena-mena dengan kekuasaannya.
“Baik buruknya kekuasaan, bergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau atau sudah disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsure yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur”.
Hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat
Pemikiran tentang hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat berasal dari Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal “An Introduction to the Philosophy of Law” (1954). Dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “Law as a tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran Pragmatic Legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia melalui Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai sarana-sarana pembaharuan masyarakat indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkungannya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya.Alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurispundensi memegang peranan pula) dan ditolaknya apliikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia.
Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurispundensi atu kombinasi keduanya.Seperti telah diikemukakan dimuka, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan, Yurispundensi juga berperan, tetapi tidak seberapa. Lain halnya di negara-negara yang menganut sistem preseden , sudah barang tentu peranan yurisprudensi akan jauh lebih penting.
Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
Antara hukum disatu pihak dengan nilai-nilai sosial budaya dilain pihak terdapat kaitan yang erat. Hal ini telah dibuktikam nerkat penyelidikan beberapa akhli antropologi hukum baik bersifat perintis seperti Sir Henry Maine, A.M. post dan Yosef  kohler maupun Malinowski dan R.H. Lowie di abad ini.
Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tidak lain hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Apakah sebabnya orang mentaati hukum
Filsafat hukum mencoba mencari dasar kekuatan mengikat daripada hukum, yaitu apakah ditaatinya hukum itu disebabkan oleh karena hukum itu dibentuk oleh pejabat yang berwenang atau memang masyarakat mengakauinya karena dinilai hukum tersebut sebagai suatu hukum yang hidup didalam masyarakat?
Dalam hubungan dengan pertanyaan yang pertma terdapat beberapa teoripenting yang patut diketengahkan:
1.      Teori kedaulatan Tuhan (Teokrasi)
Hukum dianggap sebagai kehendak atau kemauan Tuhan. Manusia sebagai salah satu ciptaanNya wajib taat pada hukum Ketuhanan ini.
·         Yang langsung
Hendak membenarkan perlunya hukum yang dibuat oleh raja-raja, yang menjelma dirinya sebagai Tuhan didunia, harus ditaati oleh setiap penduduknya. Sebagai contoh raja-raja Fir’aun di mesir dahulu.
·         Yang tidak langsung
Menganggap raja-raja bukan sebagai Tuhan akan tetapi wakil Tuhan di dunia. Dalam kaitan ini dengan sendirinya juga karena bertindak sebagai “wakil”, semua hukum yang dibuatnya wajib pula ditaati oleh segenap warganya.
2.      Teori Perjanjian masyarakat
Teori ini berpendapat bahwa orang taat dan tunduk pada hukum olehh karena berjanji untuk mentaatinya. Hukum dianggap sebagai kehendak bersama, suatu hasil konsensus (perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
·         Hugo de Groot (Grotius)  (1583-1645)
·         Thomas Hobbes (1588-1679)
·         John Locke (1631-1705)
·         J.J Rousseau (1712-1778)
3.      Teori Kedaulatan Negara
Teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum itu karena negara menghendakinya.
4.       Teori Kedaulatan Hukum
Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya akan tetapi karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat.

Apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?
Kita mengenal beberapa teori seperti teori kedaulatan Tuhan, perjanjian masyarakat, dana kedaulatan negara. Jika ditelaah bunyi terori-teori yang termaksud , maka nampaknya bahwa dalam usaha menjawab dasar mengikat suatu hukum tersirat juga ulasan wewenang negara untuk menghukum warganya terutama atas segala perbuatannya yang dapat menggoncangkan, membahayakan dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Ajaran kedaulatan Tuhan misalnya dengan penganutnya yang sangat terkenal di abad ke 19 Friedrick Julius Stahl berpendapat bahwa negara adalah merupakan badan yang mewakili Tuhan di dunia yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Para pelanggara ketertiban itu perlu memperoleh hukuman agar ketertiban hukum teteap terjamin.
Teori perjanjian masyarakat mereka berjanji akan mentaati segala ketentuan yang dibuat negara dan dilain pihak bersedia pula untuk memperoleh hukuman jika dipandang tingkah lakunya akan berakibat terganggunya ketertiban dalam masyarakat. Mereka telah memberikan kuasa kepada negara untuk menghukum seseorang yang melanggar ketertiban.
Penganut-penganut teori kedaulatan, negaralah yang menciptakan peraturan-peraturan hukum jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukuman yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.
Walaupun terdapat berbagai toeri seperti tersebut di atas, sesungguhnya hak negara untuk menghukum seseorang didasari pemikiran bahwa negara memiliki tugas berat yaitu berusaha mewujudkan segala tujuan yang menjadi cia-cita.

BAB VI
HUKUM ALAM DAN HUKUM POSITIF

Dalam bab ini lebih lanjut akan dijelaskan mengenai hubungan hukum alam dengan hukum positif. Manusia sebagai bagian dari alam semesta harus menyesuaikan diri dengan keharusan yang bersifat alamiah itu agar terwujud keadilan. Anggapan ini oleh para penulis sejarah filsafat hukum dinilai sebagai awal mula diakuinya berlakunya hukum alam walau mereka belum dapat membedakan hukum alam dan hukum positif.
Kaum sofis, diwakili oleh Phitagoras, menolak berlakunya suatu hukum alam. Filsuf ini beranggapan bahwa warga-warga polislah yang menentukan isi undang-undnag (hukum positif); kebaikan dan keburukan tidak ditentukan oleh hukum alam (aturan keharusan yang bersifat alamiah), tetapi ditentukan oleh manusia.
Sophocles dalam tulisannya yang termasyhur, Antigone, menerima berlakunya suatu hukum lain di samping hukum positif. Menurut pendapatnya, hukum yang lain ini bersifat ketuhanan yang berlaku abadi dan merupakan dasar bagi berlakunya hukum positif. Ini berarti bahwa positif itu isinya tidak boleh bertentangan dengan hukum alam tersebut, sebab bila bertentangan, hukum positif itu tidak memiliki kekuatan berlaku.
Hukum alam adalah hukum yang menurut kodratnya adalah hukum, lepas dari soal apakah hukum itu dipandnag baik atau tidak oleh manusia. Hukum alam ini tidak berlaku mutlak, tetapi di dalamnya memiliki kekuatan yang dapat terasa dimana-mana. Tentang kedudukan alam ini terhadap hukum positif, Aristoteles berpendapat bahwa hukum alam bersifat menambah pada hukum positif. Dengan demikian, hukum alam tidak bersifat menghapuskan berlakunya hukum positif. Segala kekurangan dan kekosongan yang dialami oleh hukum positif diisi dan dipenuhi oleh hukum alam. Sebab, bagaimanapun, sebagai buatan manusia, tidak ada hukum positif yang bersifat sempurna.
Hukum alam dalam arti luas ialah hukum yang tidak menciptakan hak yuridis, tetapi yang bersifat kepantasan. Selain menganggap hukum alam itu bersumber daeti rasio manusia, Grotis menyatakan menerima pula adanya hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan, hukum alam versi inilah yang contohnya terdapat di dalam Kitab Suci.
Dalam hubungan hukum alam dan hukum positif, Grotius menyatakan bahwa hukum positif itu tidak boleh bertentangan dengan hukum alam, penyimpangan itu hanya dapat ditolerir jika ternyata kepentingan negara menghendakinya.

BAB VII
TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN

Hak menurut Salmond, memiliki definisi kepentingan yang diakui dan dilindungi hukum, sedangkan menurut Allen hak adalah suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dpaat melaksanakan kepentingannya. Jhering pun mengemukakan pendapat yang sama bahwa hak itu adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Sedangkan Holland melihat hak itu sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisir.
Hak atas Dasar Moral dan Hukum
Hak sama halnya dengan kesalahan dan kewajiban, bersifat moral atau hukum. Hak dari segi moral merupakan suatu kepentingan yang diakui dan diatur oleh suatu ketentuan moral- suatu kepentingan yang pelanggaran atasnya akan dikatakan kesalahan dari segi moral, dan mentaatinya dikatakan sebagai kewajiban moral. Hak dari segi hukum merupakan kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh suatu peraturan perundangan yang pelanggaran terhadapnya merupakan kesalahan dari segi hukum.
Berkaitan dengan maslah hak dan kewajiban, sering dipersoalkan sejauh mana hubungan diantara hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Di dalam literatur terdapat dua pandangan mengenai masalah ini, yang pertama berpendapat bahwa tidak akan ada hak tanpa adanya kewajiban terhadapnya, atau sebaliknya. Sebagai contoh, jika saya memiliki hak terhadap seseorang, maka orang ini mempunyai kewajiban terhadap saya, begitupun sebaliknya, ini disebut vinculum juris (kewajiban hukum yang mengikat). Kedua bahwa terdapat perbedaan di antara kewajiban relatif dan kewajiban yang mutlak. Hakikat hak ialah selalu melihat pada seseorang. Jika kewajiban itu ditujukan kepada masyarakat pada umumnya atau pada kelompok masyarakat, ini berarti bahwa hak itu tidak melekat pada orang tertentu. Kewajiban yang dilakukannya bersifat relatif. Lain halnya pada yang bersifat mutlak, seseorang yang berutang wajib membayar utangnya kepada yang berpiutang, kewajiban ini mutlak harus dilakukan.
Macam-macam Hak
Hak dalam arti sempit adalah setiap hak akan berhadapan dnegan kewajiban, sedangkan dalam arti luas, hak di sini tidak selalu disertai dengan keharusan adanya kewajiban. Hak dirumuskan sebagai faedah atau keuntungan yang diperoleh seseorang berdasar atas ketentuan hukum, dikenal empat hak yang tergolong ke dalam jenis ini, yaitu:
1.      Hak dalam arti sempit
2.      Kebebasan-kebebasan (liberties)
3.      Kekuasaan (power)
4.      Kekebalan (immunities)
Hak dalam arti sempit, sebagaimana telah disinggung diatas, akan meletakkan suatu kewajiban bagi yang terkena oleh hak itu. Hak yang berupa kebebasan akan melahirkan tidak ada hak (no rights), sedangkan yang berupa kekuasaan akan berhadapan dengan pertanggungjawaban (liabilities). Yang terakhir, yaitu kekebalan, kolerasinya adalah ketidakmampuan (disabilities).
Kewajiban
Kewajiban ialah perbuatan yang seseorang harus melakukannya; perbuatan yang bertentangan dengannya adalah kesalahan. Menyuruh melakukan suatu kewajiban pada seseorang berarti mengklaim bahwa orang itu harus melakukan suatu perbuatan tertentu. Seseorang dapat memiliki berbagai kewajiban disebabkan oleh kedudukannya. Sebagai contoh misalnya seorang pembantu rumah tangga atau seorang anak. Namun, hatus diingat bahwa tidak semua perbuatan itu merupakan pemenuhan suatu kewajiban.
Hak di Masa Kini
Pada abad modern ini, hak yang dimiliki ole individu itu semakin dibatasi dan terjadi transformasi hukum ke arah sosialisasi hukum yang aktual, dikemukakan oleh Roscoe Pond sebagai berukut:
1.      Pembatasan penggunaan hak milik
2.      Pembatasan terhadap kebebasan untuk kontrak
3.      Pembatasan atas kekuasaan seseorang untuk mengasingkan hak miliknya
4.      Pembatasan terhadap kekuasaan dari kreditur atau pihak yang dirugikan untuk mendapat jaminan yang memuaskan
5.      Transformasi tentang pemikiran yang mendasar, pertanggungjawaban ke arah yang lebih obyektif.
6.      Putusan-putusan peradilan yang menyangkut kepentingan-kepentingan sosial dengan cara membatasi ketentuan umum demi terciptanya manfaat yang bersifat kebijaksanaan yang fleksibel.
7.      Dana umum digunakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang diderita individu, dilakukan oleh badan-badan publik
8.      Penerapan perlindungan terhadap para anggota keluarga.

BAB VIII
HAK MILIK

Pengertian
Hak milik adalah hubungan antara seseorang dengan suatu benda yang membentuk suatu hak kepemilikan terhadap benda tersebut. Hak ini merupakan suatu himpunan hak-hak yang kesemuanya merupakan hak-hak in rem. Hak ini terdiri dari:
a)      Hak untuk memiliki sesuatu, pemilik berhak untuk memiliki suatu benda yang dimilikinya.
b)      Hak untuk menggunakan dan menikmati.
c)      Hak untuk memakai.
d)     Waktu yang terbatas.
e)      Pemilikan juga mempunyai sifat sisa.

Tentang Hal Pemilikan
Kekayaan seseorang terdiri dari tanah dan barang. Ini merupakan pemilikan yang bersifat material. Akan tetapi, kekayaan mterial ini dapat pula berupa kepentingan-kepentingan pada tanah-tanah milik orang lain, utang-utang, saham-saham pada beberapa perusahaan, hak paten, hak cipta, dan sebagainya. Kesemua ini bukan berbentuk material, melainkan berbentuk hak-hak. Jadi, hal yang menjadi objek pemilikan ini bisa berbentuk suatu hak dan bisa bersifat material.
Benda (material) dan hak apa yang menjadi obyek pemilikan ini, bergantung pada hukum yang berlaku. Ada hukum yang membenarkan, dan ada pula yang melarangnya.

Pemilikan Sendiri dan Milik Bersama
Biasanya sebuah benda dimiliki oleh seseorang dalam waktu tertentu disebut dengan pemilikan sendiri, namun pemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap suatu benda juga memungkinkan.
Pemilikan bersama (partner) adalah orang yang ikut serta memiliki apakah itu saham, uang sewa, piutang-piutang, dan lain-lainnya. Apabila kemudian masing-masing partner itu memiliki secara terpisah benda-benda atau hak-hak tadi, maka dengan sendirinya menjadi pemecahan pemilikan bersama. Sekarang masing-masing merupakan pemilik tunggal dari benda atau hak-hak yang sudah dipecah tadi. Jadi nyatalah bahwa ciri atau ukuran utama adanya pemilikan bersama itu ialah adanya kesatuan yang tak terpisahkan di benda atau hak yang dijadikan milik bersama itu.

BAB IX
HAK UNTUK MENGUASAI

Hak Milik dan Hak Menguasai
Terdapat perbedaan diantara hak milik dan hak untuk menguasai suatu benda. Yang pokok ialah bahwa hak milik bersifat permanen, sedangkan hak menguasai, jika tidak disertai hak pemilikan atas benda tersebut, bersifat sementara. Perbedaan lainnya ialah bahwa hak milik menunjuk kepada suatu ketentuan hukum dari suatu sistem hukum, sedangkan hak untuk menguasai suatu benda menunjukkan adanya fakta bahwa terdapat hubungan di antara mausia dan benda. Dengan demikian, hak milik merupakan konsep hukum dan hak menguasai merupakan konsep prahukum.
Hak Penguasaan yang Langsung dan Tidak Langsung
Hak penguasaan yang dimiliki oleh seseorang melalui seseorang lain sebagai hak menguasai secara tidak langsung, sedangkan mereka yang mendapatkannya atau menerimanya secara langsung atau personal, disebut hak menguasai secara langsung.
Dikenal tiga bentuk hak menguasai secara langsung:
Yang pertama, hak yang didapat melalui agen atau orang suruhan. Agen atau orang suruhan ini menguasai sendiri benda atas nama yang berhak, dan tidak merasa berkepentingan atasnya.
Yang Kedua, hak menguasai secara langsung itu berada di tangan seseorang yang sekaligus menguasainya atas nama saya dan atas nama dirinya dengan ketentuan, dia mengetahui bahwa saya mempunyai hak yang lebih tinggi untuk menarik hak itu kembali secara langsung ke tangan saya jika saya menghendakinya.
Yang Ketiga, hak menguasai secara langsung berada di tangan seseorang yang menganggap dirinya memiliki hak itu hingga suatu jangka masa tertentu atau terpenuhinya satu persyaratan tertentu.
Pelepasan Hak Menguasai
Pelepasan hak dapat dilakukan melalui dua jalan, pertama dengan cara pengambilan (takinga), dan kedua dengan penyerahan (delivery). Yang pertama dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak, sedangkan yang kedua dengan persetujuan dan bantuan pihak yang memegang hak. 

BAB X
BEBERAPA BAHAN UNTUK MEMPELAJARI FILSAFAT HUKUM

Hukum yang tercantum dalam Kitab-kitab Undang-undang dan Hukum dalam praktek
Marilah kita ambil beberapa contoh. Telah menjadi suatu dogma yang tetap dari kitab-kitab undang-undang bahwa semua keraguan-raguan harus diselesaikan dengan memperhatikan konstitusionalisme sebuah status bahwa pengadilan tidak akan menyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar kecuali jika telah jelas dan tidak diragu-ragukan lagi harus ditarik kesimpulan demikian, tetapi tidaklah dapat diperahankan bahwa yang demikian itulah keadaaan yang sesungguhnya, teritimewa dalam hal perundang-undangan sosial yang dituduh bertentangan dengan jaminan-jaminan konstitusional tentang kemerdekaan dan hak milik. Adanya kenyataan bahwa “ the Court of Appeal of New York” (Pengadilan Banding di New York) dan “the Supreme Court of the United State” (Mahkamah agung Amerika Serikat) berbeda pendapat tentang masalah-masalah kekuasaan yang mengatur jam kerja kontrak-kontrak kotapraja dan kontrak-kontrak umum, dan kekuasaan yang mengatut jam kerja dari buruh-buruh pabrik roti, Peradilan Banding memberi putusan yang bertentangan terhadap yang satu dan pengukuhan yang lain, sementara Mahkamah Agung telah memberi putusan yang berlawanan tentang masalah yang pertama dalam perkara yang sama jenisnya tetapi dalam kasus yang berbeda dan kemudian menolak putusan Pengadilan Banding New York mengenai masalah yang kedua, telah menjadi bukti nyata. Masih banyak contoh-contoh yang dapat dikemukakan. Tetapi cukuplah dikatakan bahwa seseorang yang mempelajari secara kritis jalannya keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah konstitusional dalam mayoritas pengadilan-pengadilan negara-negara bagian dalam tahun-tahun  belakangan ini akan setuju dengan pendapat Professor Freund bahwa pengadilan-pengadilan dalam praktek berkecenderungan untuk menjungkir balikkan sekalian perundang-undangan yang mereka anggap tidak bijaksana, dan harus mengakui kebenaran pernyataan Professor Dadd :
“Pengadilan-pengadilan sekarang telah secara definitif memasuki bidang public policy ddan cepat memberikan putusan inkonstitusional pada hampir dan setiap U.U yang tidak mereka setujui, terutama dalam bidang perundang-undangan sosial industri. Pernyataan yang masih tetap diulangi oleh pengadilan-pengadilan bahwa undang-undang tidak akan dinyatakan inkonstitusional kecuali jikalau pertentangannya dengan UUD sudah jelas tanpa keragu-raguan sedikitpun juga, tampaknya sekarang telah menjadi “ semata-mata kesopan-santunan dan slogan kosong belaka”. (PP. 15-16)
Hukum dan Ilmu-ilmu Sosial (Cairns : Law and the Social Sciences)
Pemikir-pemikir hukum yang baru telah mengabaikan studi tentang hubungan antara hukum dan anthropologi karena penyelidikan-penyelidikan para pendahulunya telah menghasilkan konsensi-konsensi yang steril dan filsafat hukum yang palsu : studi ini juga telah diabaikan karena hhingga belum lama berselang, terdapat keengganan diantara para sarjana hukum untuk meminta bantuan dari ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan. Hukum telah dipandang sebagai subyek yang memuat dalam dirinya sendiri benih-benih bagi pertumbuhannya, tetapi dengan adanya gerakan menuju sintesa dan antrhopologi, mungkin kedua bidang ilmu pengetahuan ini akan bergabung kembali, sehingga akan saling memajukan satu sama lain.
Dari sudut pandangan fungsional usaha untuk menyuusun dalil-dalil hukum dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat adalah lebih penting daripada hubungan-hubungan logis atau historisnya di atas kertas. Gerakan funfsional telah memberikan vitalitas yang benar pada pemikiran hukum dan telah menaikkan status ilmu hukum menjadi ilmu pengetahuan sosial. Dalam antrhopologi, Malinowski, yang bertanggung jawab bagi dipergunakannya istilah “funfsional” dalam bidang ini, telah menyatakan dengan baik sekali tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari metode fungsional. Ia menulis : “ teori semacam ini bertujuan menjelaskan fakta-fakta antropologis pada semua tingkat perkembangan menurut fungsinya, menurut peranan yang diambilnya dalam bagian integral dari kebudayaan, menurut hubungannya satu sama lain di dalam sistem, dan menurut cara dengan mana sistem ini dihubungkan dengan lingkungan fisiknya. Ia bertujuan memahami hakekat kebudayaan, daripada suatu rekonstruksinya dimasa lampau”. Dilihat dari suatu sudut fungsional, kebudayaan dipandang tidak hanya sebagai suatu hal yang dynamis tetapi juga sebagai keseluruhan yang organis.
Hakekat Hukum
·         Perihal keadilan politik sebagian adalah :
a.       Alamiah
Jika dimanapun juga mempunyai kekuatan yang sama dan tidak terwujud karena sesuatu pemikiran orang.
b.      Legal
Jika dilihat dari asalnya berbeda tetapi jika dirumuskan menjadi berbeda, yaitu bahwa uang tebusan seorang tahanan akan menjadi sumber keuangan negara, atau bahwa seekor kambing dan bukan dua ekor biri-biri yang akan dikurbankan.
·         Perkataan-perkataan perbudakan dan budak dipakai dalam dua pengertian. Ada budak atau perbudakan menurut :
a)      Pengertian  hukum, mana segala sesuatu yang diambil dalam peperangan menjadi milik si pemenang.
b)      Pengertian Alamiah
·         Bilamana beberapa buah desa disatukan dalam sebuah persekutuan masyarakat yang lengkap, cukup bensar sehingga hampir-hampir atu sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, lahirlah sebuah negara, timbul karena semata-mata kebutuhan hidup dan hidup terus demi kehidupan yang baik dan karenanya jika bentuk masyarakat yang terdahulu adalah wajar begitupun tujuan akhirnya.
·         Undang-undang dalam peraturan-peraturannya tentang seluruh warga negara bertujuan mencapai kebaikan untuk umum baik untuk semuanya atau yang terbaik, atau mereka yang memegang kekuasaan atau yang semacam itu, sehingga dalam satu pengertian kita menamakan undang-undang tersebut adil dan cenderung untuk menghasilkan atau mempertahankan kebahagiaan dan komponen-komponennya bagi masyarakat negara.
·         Telah kami nyatakan dimuka bahwa tindakan yang berbalas-balasan berhubungan dengan keadilan, tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa apa yang kita cari bukanlah hanya apa yang adil ttanpa kwalifikasi tetapi juga keadilan politik.
·         Sekarang telah tiba saatnya mendiskusikan dalam diskusi ini kebutuhan mendesak untuk menyoroti sorang saja yang bertindak semata-mata demi kepentingannya sendiri.
Tentang tugas zaman kita bagi pembentukan Undang-undang dan Ilmu Hukum
Cetakan pertama dari buku ini diterbitkan dalam tahun 1814, pada suatu masa yang takkan pernah dapat dilupakan oleh siapapun juga yang berkesadaran tinggi yang telah menjalani masa itu.  Selama bertahun-tahun lamanya berlenggu yang mengikat negeri kita pada pemerintahan bangsa asing makin lama ketat, dan jelas-jelas bahwa apabila rencana-rencana si penindas itu telah berkembang sepenuhnya, nasib bangsa kita akan berakhir dengan musnahnya kepribadian bangsa kita.
Prinsip-prinsip dasar Sosiologi Hukum
Ilmu hukum tak mengenal konsepsi ilmiah tentang hukum. Seperti halnya seorang insinyur bangunan berhubungan dengan besi, jika ia berbicara tentang besi, tidaklah dimaksudkan zat murni yang diberi ciri-ciri khas oleh seorang ahli kimia atau pertambangan, tetapi besi murni yang digunakan dalam bangunan-bangunan, begitu pula seorang sarjana hukum mengerti bahwa yang dimaksud dengan hukum bukanlah hukum yang hidup dan berfungsi dalam masyarakat manusia sebagai hukum, tetapi hanya (dengan mengecualikan beberapa bidang hukum publik) yang dipandang sebagai hukum oleh hakim yang melaksanakan pengadilan.
Dari sudut pandangan judisiil hukum adalah peraturan menurut mana hakim harus memutuskan dakwah-dakwah yang diajukan kehadapannya.
Konsep hukum yang diterima sang yuris secara otomatis dikala ia menyelidiki hukum dari suatu rakyat yang belum diketahui atau dari zaman dahulu dengan minat seorang sarjana ilmu pengetahuan murni, ia serta menolah manakala ia berpaling pada hukum yang berlaku di negaranya sendiri dan pada zmannya sendiri. Secara tak sadar aturan-aturan yang mengatur tingkah laku orang diubah menjadi aturan-aturan dengan mana tingkah laku orang dinilai oleh pengadilan dan para hakim.
Bagaimanapun orang yang melihat hukum terutama sebagai aturan tingkah laku, paksaan yang terpaut pada hukuman sebagaimana juga eksekusi putusan-putusan menjadi latar belakang. Baginya, kehidupan manusia tidaklah ditindak dalam sidang-sidang pengadilan. Observasi/penelitian sejenak mengajar dia bahwa tiap-tiap orang terjerat dalam hubungan-hubungan hukum yang tak terhitung banyaknya dan dengan beberapa pengecualian ia melakukannya atas persetujuannya sendiri tentang apa yang menjadi kewajibannya.
Ketertiban dalam masyarakat terletak pada fakta bahwa kewajiban-kewajiban pada umumnya dipenuuhii, tidak pada fakta bahwa mereka dapat bertindak.
Pengaruh perkembangan sosial atas teori hukum evolusi historis sebagai pedoman bagi pemikiran hukum.
Istilah “Ilmu Pengetahuan historia” biasanya dihubungkan aliran khusus dalam pemikiran hukum dimana Savigny adalah axponentnya/tokohnya yang paling terluhur. Tetapi aliran  itu mencerminkan hanya satu aspek khusus dari hubungan yang dapat dimasuki hukum dam sejarah.
Smentara Savigny dan pengikut-pengikutnya menyeruhkan agar kembali kepada sejarah atas nama tradisi adatkebiasaan dan bangsa melawan kepercayaan dalam pembentukan hukum yang direncanakan filosofis, memperkembangkan suatu filsafat hukum yang definitif dari evolusi sejarah.
Aliran Historis Von Savigny
Pengajaran dari orang-orang seperti Hugo, Savigny, Puchta tentang fungsi dan perkembangan hukum hampir-hampir tak dapat dipandang sebagai teori huku. Karena ia terlalu negatif dalam konsepsinya dan terlalu umu. Dalam skala besar ia telah bertanggung jawab bagi :
·         Perkembangan yang luar biasa dalam studi sejarah hukum
·         Diletakkannya akhir-akhir ini tekana pada “people’s feeling or right” (perasaan hukum rakyat tentang apa-apa yang benar”) melawan aksara-aksara yang mati dari Undang-undang dan presiden, yang tampak dalam teori-teori sosiologi modern dan “free law” (hukum bebas).
·         Pengaruh mistik pada hukum nasional sosialis.
Aliran sejarah ini mencerminkan suatu reaksi yang kuat melawan dua kekuatan-kekuatan yang berpengaruh pada masa itu :
a)      Rationalisme abad ke-18 dengan kepercayaannya pada hukum alam,daya kekuatan akan dan prinsip-prinsip utama, kesemuanya ini digabung untuk membentuk teori hukum dengan jalan deduksi umum dan tanpa mengacuhkan fakta historis, kekhususan nasioanl dan kondisi-kondisi sosial.
b)      Kepercayaan dan semangat Revolusi Perancis, dengan pemberontakannya melawan pemerintah yang berkuasa dan tradisi-tradisi, keyakinannya pada rasio dan daya kekuatan manusia untuk mengatasi lingkungannya dan pesanannya untuk seluruh dunia.
Terori Murni Kelsen Tentang Hukum
Positivisme analitis telah diungkapkan kembali, diperkembangkan dan diberi dasar teoritis filosofis dalam zaman kita, oleh pengaruh teori Kelsen dan pengikut-pengikutnya yang secara kolektif dikenal sebagai “aliran Wina”. Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, meskipun Kelsen sebagaimana diakuinya kemudian pada waktu ia mulai memperkembangkan teori-teorinya sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal usul filosofis dari “aliran Wina” berbeda jauh dengan utiliterisme Austin. Dasar filsafat dari pemikiran Kelsen ialah Neo Kantianisme. Ini berhubunga Kelsen dengan inspirasi Neo-Kantian dan Rudolf Stammler dan Del Vechio, tetapi konklusi-konklusi yang ditarik Kelsen dan “aliran Wina” dari premis-premis Neo-Kantian bertentangan secara radikal dengan premis-premis dari dua juris ini.
Unsur-unsur penting dari sistem Kelsen dapatlah diperinci sebagai berikut :
·         Tujuan dari teori tentang hukum, sebagaimana tiap-tiap ilmu pengetahuan lainnya, ialah mengulangu kekakuan dan pluralitas menjadi kesatuan
·         Teori hukum ialah ilmu, bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang “what the law is” bukan tentang “what the law ought to be” (tentang hukum yang berlaku sekarang, bukan tentang bagaimana seharusnya hukum itu”
·         Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif bukan ilmu pengetahuan alam
·         Teori hukun sebagai suatu teori tentang norma-norma tidak bersangkutan dengan efektifnya norma-norma hukuum
·         Suatu teori tentang hukum adalah fornil, suatu teori tentang cara-cara (memerintah) mengatur dan mengubah isi hukum dengan cara yang khusus
·         Hubungan antara teori hukum dengan sistem hukum posiif yang tertentu ialah antara apa yang mungkin berlaku dengan hukum yang sungguh-sungguh berlaku.
Metode Kelsen :
·         Menarik analogi antara hukum internasional zaman sekarang dengan hukum primitif dari masyarakat-masyarakat tak beradab sebelum timbulnya negara modern.
·         Jika dihubungkan dengan sanksi hukum internasional dalam perang dan pembalasannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda