Resume Buku Etika Dalam Islam Karya Madjid Fakhry
Kekuatan dan Kebaikan Jiwa
Kekuatan Jiwa, untuk mengerti hal itu Al-Ghazali
mengikuti pandangan-pandangan Aristoteles-Ibn Sina. Ia membedakan antara jiwa binatang dan jiwa manusia, jiwa binatang
memiliki kekuatan gerak, nafsu dan persepsi, sedang jiwa manusia memiliki
kekuatan manusia untuk mengetahui dan berbuat atau kekuatan teoritis dan
praktis.
Kekuatan praktis adalah kekuatan yang menggerakkan tubuh manusia untuk melakukan perbuatan tertentu yang melibatkan refleksi dan kesengajaan yang diarahkan oleh kekuatan teoritis atau pengetahuan. Ketika kekuatan-kekuatan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dapat ditaklukkan oleh kekuatan praktis, maka sifat-sifat yang baik akan muncul dalam jiwa. Sedangkan, apanila kekuatan praktis dapat ditaklukkan oleh kekuatan-kekuatan untuk memenuhi kekuatan jasmaniah, maka sifat-sifat kejilah yang akan tampak.
Kekuatan praktis adalah kekuatan yang menggerakkan tubuh manusia untuk melakukan perbuatan tertentu yang melibatkan refleksi dan kesengajaan yang diarahkan oleh kekuatan teoritis atau pengetahuan. Ketika kekuatan-kekuatan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dapat ditaklukkan oleh kekuatan praktis, maka sifat-sifat yang baik akan muncul dalam jiwa. Sedangkan, apanila kekuatan praktis dapat ditaklukkan oleh kekuatan-kekuatan untuk memenuhi kekuatan jasmaniah, maka sifat-sifat kejilah yang akan tampak.
Dalam karyanya yang berjudul Mizan al-‘Amal, Al-ghazali menyatakan bahwa sumber utama
pengetahuan adalah Tuhan yang telah menganugerahkannya kepada manusia melalui
berbagai cara. Dari pernyataan diatas, maka tugas utama manusia adalah
mempersiapkan jiwa secara konstan untuk siaga menerima cahaya Tuhan dengan cara
membersihkannya dan memelihara kemurnian dan kesuciannya. Penyucian jiwa ini
dilakukan karena hambatan dalam menerima cahaya Tuhan itu tidak pernah berasal
dari Tuhan tetapi dari diri manusia sendiri. Karena hal itulah mengapa Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Tuhanmu telah menyediakan untukmu kemudahan-kemudahan
tertentu sepanjang hidup, maka persiapkanlah dirimu untuk menyingkapnya” dan
“barang siapa yang mendekati-Ku sejauh satu jengkal maka aku akan mendekatinya
satu yard dan barang siapa yang mendekati-Ku dengan berjalan maka aku akan
mendatanginya dengan berlari. Tingkatan-tingkatan dengan tuhan ini tidak
terbilang jumlahnya dan tingkatan ini diperoleh tergantung kepada tingkat
kemampuan yang dimiliki oleh para filosof, orang suci dan para Nabi. Adapun
tingkatan tertinggi adalah tingkatan nabi Muhammad yang telah diwahyukan
kepadanya seluruh realitas tanpa mencari atau mengejarnya tetapi hanya melalui
“iluminasi Tuhan” (kasyf al-Ilahi). Dalam hal ini al-Ghazali menyerang
kesombongan para sufi yang congkak seperti al-Bustami dan al-Hallaj yang
menyatakan tingkat kedekatan yang luar biasa adalah pada tahap kesatuan
(ittihad) atau immanensi (hulul), karena menurutnya tingkatan tertinggi yang
dapat dicapai manusia adalah kedekatan dengan Tuhan bukan kesatuan dengan
Tuhan.
Kebahagiaan utama, al-Ghazali menolak jalan menuju
kebahagiaan utama yang ditempuh oleh para sufi. Awalnya al-Ghazali ingin
menjelaskan perbedaan pandangan antara para sufi dan para moralis, para sufi
dan moralis sepakat dalam hal perbuatan akan tetapi berbeda dalam memandang
pengetahuan. Para sufi mengatakan bahwa pencarian dengan susah payah untuk
memperoleh pengetahuan sama sekali tidak berguna; karena semua yang dibutuhkan,
termasuk pengetahuan semuanya berasal dari Tuhan jadi kita hanya perlu memusatkan
perhatian sepenuhnya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika jiwa benar-benar
bersih maka jiwa akan berada dalam keadaan siap untuk menerima wahyu yang
dilimpahkan kepadanya melalui kasih sayang Tuhan, seperti para Nabi dan orang
suci. Di sisi lain al-Ghazali mempertanyakan praktek-praktek sufi dan
memaparkan bahaya dan resiko yang akan menimpa jiwa jika tidak dibimbing untuk
melawan kesalahan atau ilusi melalui latihan logika standar pengetahuan.
Cara lain yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah
dengan memprosesnya secara metodis, pertama denga memperhatikan
kekuatan-kekuatan utama yang dimiliki jiwa baik kekuatan rasional, amarah dan
seksual. Ketika kekuatan-kekuatan ini benar-benar dikendalikan dengan cara yang
dikehendaki dan berada dalam tingkatan yang diinginkan, dan kekuatan amarah
serta nafsu dapat ditundukkan oleh kekuatan rasional maka keadilan akan
menjelma. Keadilan ini adalah fondasi dimana langit dan bumi ditegakkan dan
jalan ketaqwaan serta kemuliaan moral berada. Untuk mendukung tesisnya ini al-Ghazali
mengemukakan sejumlah hadits dan ayat-ayat al-Qur’an yang bertujuan untuk
memerintahkan akhlaq yang mulia dengan sinonim “pengendalian” terhadap tiga
kekuatan jiwa tersebut. Ia mengutip surat 49:14 untuk menjadi dasar bagi tesis
ini, ayat ini menurut terjemahan Arberry:
“orang-orang yang beriman adalah mereka yang beriman
kepada Tuhan dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu dan berjuang di Jalan
Tuhan dengan harta dan diri mereka. Itulah mereka orang-orang yang benar”.
Menurut al-Ghazali keimanan dan menolak keraguan
dalam ayat tersebut mengacu kepada pengetahuan atau kebijaksanaan yang benar,
sedangkan perjuangan yang diasosiasikan dengan “pengendalian” kekuatan nafsu
seksual dan perjuangan dengan diri mereka merujuk kepada keberanian dan ketabahan
yang berhubungan dengan “pengendalian” terhadap kekuatan amarah (hamiyah).
Terdapat tiga tahapan dalam proses perjuangan
melawan nafsu, yaitu: pertama, manusia
yang ditundukkan oleh kekuatan nafsu sehingga nafsu menjadi objek penyambahan
atau Tuhan, kondisi ini meliputi kebanyakan manusia; kedua, manusia yang tetap berperang dengan nafsu, dan ini
memungkinkan untuk kalah atau mendapatkan kemenangan; ketiga, manusia yang mampu mengatasi nafsunya dan sekaligus
menundukkannya, ini adalah keberhasilan besar dan dengannya manusia akan
merasakan “kenikmatan yang hadir”, kebebasan dan terlepas dari nafsu.
Al-Ghazali juga telah meletakkan serangkaian
aturan-aturan praktis untuk menekan pertumbuhan jiwa yang jahat melalui
“latihan dan perjuangan” (riyadhah wa mujadalah) yang merupakan kunci “jalan
mistik” yang ia pandang tidak terlepas dari kehidupan moral. Proses ini
bertujuan untuk membersihkan jiwa dengan mengarahkan langkah-langkah praktis
yang bermacam-macam, mulai dengan menanamkan sifat-sifat tertentu secara
berulang-ulang sehingga mengembalikan kebiasaan berbuat baik yang secara
sempurna dapat dikendalikan. Jadi untuk memperoleh perilaku atau sifat
kebebasan atau kerendahan hati kita harus benar-benar melakukannya pada
interval waktu yang berdekatan.
Sarana efektif untuk memerangi pertumbuhan kejahatan
jiwa adalah metode terapi para ahli jiwa yang menerapkan symptom suatu penyakit
dengan dihadapkan pada prinsip atau antidote yang menjadi lawannya sehingga
berfungsi sebagai counterbalance dan dengannya dapar memperbaiki keseimbangan
yang bermanfaat bai kesehatan. Jadi, jika jiwa condong kepada nafsu,
kepengecutan dan keserakahan, maka jiwa harus dilatih untuk membiasakan sifat
iffah, kebebasan atau keberanian sehingga keseimbangan dapat dicapai. Seperti
para moralis lainnya, al-Ghazali meyakini bahwa watak manusia pada dasarnya ada
dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan atau
pendidikan.
Lebih lanjut al-Ghazali mencoba menerangkan metode
terapi kesehatan. Jika metode terapi antidote di atas dimaksudkan untuk
membasmi kejahatan-kejahatan, maka metode terapi kesehatan ini bertujuan untuk
menanamkan kebaikan-kebaikan dalam jiwa. Empat kebaikan utama adalah
kebijaksanaan, keberanian, iffah, dan keadilan.
Tabulasi pembagian kebaikan-kebaikan ulama yang
dibuat al-Ghazali tidak selalu sejalan dengan para filosof dan sumber pembagian
tersebut tidak ditemukan dalam etika yunani-Arab. Secara umum tabel al-Ghazali
yang mencontoh para pendahulunya seperti Miskawayh dan Ibn Sina tampaknya muncul
sebagai karya yang tidak sepenuhya murni karena sebagian mengambil dari
klasifikasi yang diberikan al-Raghib al-Isfahani. Dapat dikatakan bahwa
al-Ghazali benar-benar tertarik pada karya-karya al-Raghib al-Dzari’ah. Adapun
pembagian keempatnya adalah sebagai berikut:
Kebijaksanaan: kecerdasan (husn
al-tadbir), akal sehat (judat al-dzihn), ketajaman akal (thabaqat al-ra’y),
pandangan yang benar (shawab al-zhann).
Keberanian : kemuliaan (karam), ketenangan diri
(najdah), kebesaran jiwa (kibar al-nafs), lapang dada (ihtimal), kesabaran
(hilm), ketabahan (thabat), kehormatan (nubi), kesatria (syahamah), berwibawa
(waqar).
Sifat Iffah : sopan (haya), malu (khajal), pemaaf
(musamahah), sabar (shabr), dermawan (sakha), pertimbangan yang baik (husn
al-taqdir), keramahan (inbisat), humor yang baik (damathah), kontrol diri
(intizham), puas diri (qana’ah), ketenangan hati (hudu’), menahan diri (wara’),
riang hati (talaqah), sikap membantu (musa’adah), bijak (zharf).
Dalam membahas keadilan ia membedakan tiga macam
keadilan, yaitu: (a) keadilan politik yang berkaitan erat dengan hubungan yang
teratur berbagai komponen dari suatu kota, (b) keadilan moral yang berkaitan
erat dengan relasi teratur antara bagian jiwa yang satu dengan lainnya, dan (c)
keadilan ekonomi yang berhubungan erat dengan aturan-aturan kesamaan dalam
transaksi bisnis.
Tipe-Tipe
Kebaikan dan Kebahagiaan
Seperti halnya Aristoteles, al-Ghazali menyamakan
kebahagiaan dengan kebaikan utama manusia. Tetapi berbeda dengan Aristoteles,
ia membaginya kembali menjadi dua macam kebahagiaan utama; kebahagiaan ukhrowi
dan kebahagiaan duniawi. Menurutnya yang pertama adalah kebahagiaan sejati
sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah sebagai kebahagiaan yang metaforis.
Keasyikan dengan kebahagiaan ukhrowi bagaimanapun tidak memalingkan
perhatiaanya dari jenis-jenis kebahagiaan dan kebaikan lainnya. Bahkan ia
menyatakan bahwa apapun yang kondusif bagi kebaikan utama maka itu merupakan
kebaikan pula.
Selanjutnya ia mengatakan, kebahagiaan ukhrowi itu
sendiri tidak dapat dicapai tanpa kebaikan-kebaikan lainnya yang merupakan
sarana untuk meraih tujuan kebaikan ukhrowi. Kebaikan-kebaikan ini adalah: (a) empat kebaikan utama yang telah
dibahas dan pada dasarnya identik dengan dasar-dasar agama; (b)
kebaikan-kebaikan jasmaniah seperti kesehatan, kekuatan, hidup teratur, dan
panjang umur; (c) kebaikan-kebaikan eksternal seperti kekayaan, keluarga,
kedudukan sosial, dan kehormatan kelahiran dan (d) kebaikan-kebaikan Tuhan
seperti petunjuk (hidayah), bimbingan yang lurus (rusyd), pengarahan (tasdid),
dan pertolongan.
Petunjuk Tuhan (hidayah) memperoleh tempat khusus
dalam skema al-Ghazali. Baginya petunjuk Tuhan adalah pondasi bagi seluruh
kebaikan seperti yang dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadits.
Al-qur’an 20:50 menyatakan, Tuhan telah memberikanwatak kepada segala sesuatu dan
kemudian memberikan petunjuk. Dan hadits yang menyatakan, “tak seorang pun akan
masuk surga tanpa rahmat Tuhan”, yang berarti petunjuk-Nya. Maka efek petunjuk
itu ada tiga: (a) memberi kemampuan pada manusia untuk membedakan antara yang
baik dan buruk melalui akal yang telah dianugerahkan Tuhan maupun melalui
perintah para nabi, (b) memberi kemampuan pada manusia untuk muncul dengan
derajat-derajat perolehan pengetahuan tertinggi atau menumbuhkan
kebaikan-kebaikannya, dan (c) berperan sebagai cahaya yang memancar dari dunia
kenabian dan wilayah spiritual, dimana manusia memiliki akses pada
realitas-realitas yang tidak dapat ditemukan oleh akal dengan sendirinya.
Selanjutnya, al-Ghazali menjelaskan tentang hubungan
kesenangan dengan kebahagiaan dibicarakan dalam pembahasan tentang tipe-tipe
kebaikan yang lain. Kebaikan-kebaikan itu dibagi menjadi: (a) kebaikan yang
bermanfaat baik secara terus menerus maupun sewaktu-waktu, (b) kebaikan yang
diinginkan baik dalam dirinya sendiri maupun untuk mencari sesuatu yang lain,
atau (c) kesenangan. Bagian (b) dan (c) tidak berhubungan, karena kesenangan
didefinisikan sebagai pencapaian suatu objek yang diinginkan dan keinginan
didefinisikan sebagai kecenderungan jiwa untuk memegang atau memiliki objek
yang dirindukan.
Al-Ghazali membagi kesenangan menjadi: (a) kesenangan
intelektual, seperti kesenangan akan pengetahuan dan kebijaksanaan, (b)
kesenangan biologis yang terdapat pada manusia juga binatang, seperti makan,
minum, seks, dan (c) kesenangan sosial dan politik, seperti keinginan untuk
memperoleh kemenangan atau kedudukan sosial. Kesenangan yang paling terhormat
dan hanya dimiliki oleh manusia adalah kesenangan pertama yang bersifat abadi
dan dibalas dengan kehormatan yang tak berakhir dalam kehidupan ini hingga hari
akhir.
Secara keseluruhan penjelasan al-Ghazali yang
didasarkan atas tulisan-tulisan dari khalifah Ali membagi kesenangan menjadi
delapan macam: makan, minum, seks, sandang, papan, bau-bauan, pendengaran dan
penglihatan. Ada dua macam kesenangan yang dianggap keji dari sudut pandang
etika dan agama, yaitu kesenangan perut dan seks; kedua kesenangan ini diikuti
dengan kesenangan akan status sosial, penumpukkan harta, persaingan dan
kompetisi. Bagian terpenting dari kritiknya terhadap hedonisme ditujukan pada
dua kesenangan pertama. Nafsu untuk makan adalah akar dari segala kejahatan
karena semakin nafsu itu tumbuh, semakin banyak makan, maka semakin bertambah
pula nafsunya dan nafsu ini merupakan bantuan dari syetan. Sekalipun demikian
makna dalam jumlah alakadarnya untuk kebutuhan hidup memang diperbolehkan,
namun makan secara berlebihan tidak saja tercela juga sangat membahayakan.
Secara tegas al-Qur’an dan hadits melarang hal semacam itu, seperti minum khamr
yang merupakan slaah satu kejahatan terbesar yang dapat merusak akal dan
menimbulkan nafsu amarah dan kebuasan jiwa.
Mencari
Tuhan
Basis etika al-Ghazali adalah tuntunan mistik bagi
jiwa untuk selalu berusaha mencari Tuhan. Ide-ide tentang akhirat dan
theosentrisnya mencela: (a) kebodohan manusia pada saat kehilangan atau tidak
mendapatkan pemilikkan duniawi, (b) perasaan duka citayang disebabkan oleh
penderitaan duniawi, dan (c) kesombongan karena kebal terhadap ketentuan Tuhan.
Di samping itu ide-ide al-Ghazali juga mencaci maki
perasaan takut akan mati yang lahir dari kekeliruan konsepsi manusia tentang
kedudukannya di dunia dan ketakterelakkannya kematian. Manusia yang benar-benar
berakal justru akan memikirkan kematian, mempersiapkan diri dengan tawakal,
tidak berlaku zalim, meninggalkan kecemburuan dan kekhawatiran terhadap
pemilikan duniawi dan menanamkan kebiasaan merasa puas terhadap apa yang
diterimanya dan selalu menyesali diri atas dosa yang diperbuatnya,
mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Tuhan dengan kebahagiaan yang tak
terhingga.
Daftar pustaka:
Fakhry, Madjid. 1996. Etika dalam Islam. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda