Resume ini diambil dari sub bab ‘Tentang
Nestapa Kaum Tertindas’ pada buku Ali Syari’ati yang berjudul Ideologi Kaum
Intelektual, Suatu Wawasan Islam.
Dalam bab ini Ali Syariati menceritakan tentang bagaimana keadaan
kaum budak dari zaman ke zaman yang tidak mengalami perubahan bahkan perlakuan
yang didapat semakin parah.
Diawali dengan ceritanya mengenai penderitaan kaum budak pada zaman Fir’aun, pembangunan piramida-piramida yang begitu besar dan megah dibalik itu semua terdapat hal yang dilupakan yaitu jasa para budak yang harus mengangkut 800 juta bongkah batu dari Aswan ke Kairo untuk membangun enam piramida besar, dan 800 juta bongkah batu dibawa ke Kairo dari suatu tempat yang berjarak Sembilan ratus delapan puluh mil untuk membangun sabuha bangunan yang di dalamnya jasad-jasad Fir’aun yang dimumikan disimpan. Dari tiga puluh ribu budak yang mengangkut bongkahan batu berat dari suatu tempat yang berjarak ratusan mil setiap hari, berates-ratus diantaranya remuk dilindas beban-beban berat. Begitu tidak pentingnya mereka di dalam sistem perbudakan itu sehingga beratus-ratus orang seperti mereka yang meninggal dikubur secara masal di dalam satu lubang. Dan tempat pemakamannya pun berada di samping-samping bangunan piramida, ketika ditanyakan mengapa demikian, jawabnya hal ini dilakukan agar jiwa para budak bisa kembali dipekerjakan sebagai budak sebagaimana jasad mereka sebelumnya. Begitu pun para budak yang membangun Dinding besar di Cina, orang-orang yang tidak bisa mengangkut beban dilindas dengan batu-batu besar dan dijadikan bahan pembangun dinding itu bersamaan dengan bebatuan. Itulah caranya monument-monumen besar peradaban itu dibangun-dengan harga daging dan darah para budak.
Diawali dengan ceritanya mengenai penderitaan kaum budak pada zaman Fir’aun, pembangunan piramida-piramida yang begitu besar dan megah dibalik itu semua terdapat hal yang dilupakan yaitu jasa para budak yang harus mengangkut 800 juta bongkah batu dari Aswan ke Kairo untuk membangun enam piramida besar, dan 800 juta bongkah batu dibawa ke Kairo dari suatu tempat yang berjarak Sembilan ratus delapan puluh mil untuk membangun sabuha bangunan yang di dalamnya jasad-jasad Fir’aun yang dimumikan disimpan. Dari tiga puluh ribu budak yang mengangkut bongkahan batu berat dari suatu tempat yang berjarak ratusan mil setiap hari, berates-ratus diantaranya remuk dilindas beban-beban berat. Begitu tidak pentingnya mereka di dalam sistem perbudakan itu sehingga beratus-ratus orang seperti mereka yang meninggal dikubur secara masal di dalam satu lubang. Dan tempat pemakamannya pun berada di samping-samping bangunan piramida, ketika ditanyakan mengapa demikian, jawabnya hal ini dilakukan agar jiwa para budak bisa kembali dipekerjakan sebagai budak sebagaimana jasad mereka sebelumnya. Begitu pun para budak yang membangun Dinding besar di Cina, orang-orang yang tidak bisa mengangkut beban dilindas dengan batu-batu besar dan dijadikan bahan pembangun dinding itu bersamaan dengan bebatuan. Itulah caranya monument-monumen besar peradaban itu dibangun-dengan harga daging dan darah para budak.
Lalu setelah para Fir’aun mengubah pandangan mereka mengenai
jiwa-jiwa yang abadi, mereka pada saat itu percaya bahwa jika jasad mereka
lestari, maka jiwa pun akan terus bisa berhubungan dengan jasad. Itulah
sebabnya mereka menyuruh kaum budak untukmembangun bangunan-bangunan besar dan
kejam itu. Meski demikian mereka mulai berfikir lebih bijaksana, mereka tidak
percaya terhadap kepercayaan lama itu dan membebaskan para budak untuk mengangkut delapan ratus bongkah batu lagi.
Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama,
setelah kekuasaan para fir’aun runtuh datang kaum penjajah yang mulai menjajah
dan menjadikan para penduduk sekitar menjadi budak. Pada saat itu, terjadi
kembali pemaksaan terhadap diri para budak untuk memenuhi keinginan mereka,
tapi kali ini bukan untuk kuburan meraka melainkan untuk istana-istana mereka.
Ketika hidup kaum budak berada dalam
keputusasaan, lahirlah nabi-nabi besar yang menumbuhkan sekilas harapan di
dalam diri mereka. Di zaman itu hidup Zoroaster, Budha yang agung dan Kong Hu
Cu sang filosof. Para ‘dewa’ mengirimkan rasul-rasul mereka untuk menyelamatkan
kami dari kehinaan perbudakan, penyembahan pun mengganti kekejaman, tapi sayang
sekali para budak bernasib buruk. Para nabi yang meninggalkan tempat-tempat
tinggal kenabian mereka di belakang dan mengabaikan para budak dan mereka
berangkat menuju istana-istana. Para budak mengimani Kong Hu Cu, sang filosof,
karena ia memikirkan masalah-masalah kemanusiaan dan masyarakat, meski demikian
ia juga seorang karib pangeran-pangeran. Budha, yang juga seorang pangeran,
mengkhianati kaum budak. Ia menoleh ke dalam dirinya untuk mencapai Nirwana,
yang tak kami ketahui dimana adanya. Budha mengembangkan berbagai aturan besar
dan aturan-aturan kepertapaan, sedang Zoroaster memulai misinya dari Azarbayan,
Iran.
Di tengah semua kesia-siaan ini, para budak
mendengar bahwa ada seorang manusia yang telah menuruni gunung-gunung sembari
berkata: “Saya diutus oleh Tuhan”. Lalu kaum budak gemetaran ketika memikirkan
bahwa mungkin sekali ini akan merupakan suatu penipuan baru dan suatu metode
baru lagi yang kejam. Di tengah keragu-raguan kaum budak, tentang datangnya
seorang nabi baru yang membela kaum budak, datang kabar bahwa dia bernama
Muhammad, seorang yatim yang di masa kecilnya menjadi penggembala di balik
gunung-gunung. Kenapa Tuhan memilih Nabi-Nya dari para penggembala? Kepada
mereka pula dikatakan bahwa pendahulu-pendahulunya juga para nabi. Dan para
budak pun mulai mengikutinya karena mereka melihat banyak dari kaumnya juga ada
di sekitarnya, seperti Bilal.
Namun ketika Nabi Muhammad SAW wafat, sekali
lagi keadaan pun menjadi berantakan. Sekali lagi mereka menginjak-injak mereka,
merampas masa muda mereka, menjadikan mereka budak-budak lagi. Sesuatu
kekuasaan terwujud yang denganlahirnya monotheisme, malah menyembunyikan
berhala-berhala di rumah-rumah Allah. Atas nama kekhalifahan Allah dan
kekhalifahan nabi, manusia-manusia berwajah Fir’aun dan para wali palsu
bersekutu.
Selanjutnya, Ali Syariati menjelaskan keadaan
pada masa modern, ia hidup di dalam suatu masyarakat yang di dalamnya
dihadapkan pada suatu sistem yang mengendalikan separuh alam, barangkali malah
semuanya. Kemanusiaan telah digiring ke arah suatu sistem perbudakan baru.
Meski kami tidak berada dalam perbudakan fisik, sebenarnya kami mengalami suatu
nasib yang lebih jelek dari kalian. Pikiran kami, hati kami, dan kehendak kami
telah diperbudak. Atas nama Sosiologi, pendidikan, seni, kebebasan seksual,
kebebasan finansial, kecintaan pada penindasan, kecintaan pada
individu-individu, keimanan kepada tujuan-tujuan, keimanan kepada tanggung
jawab kemanusiaan dan keimanan kepada aliran pemikiran seseorang sepenuhnya
direbut dari hati kita. Sistem ini menjelmakan kami menjadi wadah kosong yang
mau menerima apa saja yang dituangkan ke dalamnya.
Sekarang kami atas nama kelompok, darah, tanah
dan sistem telah mengkotak-kotakan sedemikian, sehingga masing-masing kami bisa
dengan mudah digarap. Pengikut-pengikutnya, yakni pengikut-pengikut aliran
pemikirannya, dipaksa berkelahi satu sama lain, kenapa mereka mesti menganggap
satu sama lain sebagai musuh. Semakin sedikit dibuat pembedaan dibuat orang
sekarang ini, pemikir-pemikir kami digiring ke pengasingan, mereka telah menjadi
garda-garda.
Kami bekerja bagi sistem-sistem,
kekuasaan-kekuasaan, mesin-mesin, dan istana-istana yang dibangun atas kerja
kami itu. Kekayaan ditumpuk melalui kerja keras kami, tatapi bagian kami hanya
sedikit sekali. Karenanya, kami wajib bekerja pada hari berikutnya. Kami lebih
bangkrut daripadamu. Kekejaman dan diskriminasi di zaman kami lebih parah
daripada di zamanmu.
Sebenarnya dalam bab ini Ali syariati ingin menjelaskan sejarah
kaum budak dari zaman fir’aun sampai zaman modern yang selalu ada dalam keadaan
tertindas meskipun dalam bentuk yang berbeda, ketika zaman fir’aun penindasan
kepada kaum budak terjadi dalam bentuk fisik dan pada zaman modern terjadi
dalam bentuk pikiran yang aslinya nanti ke fisik juga.
Daftar Pustaka:
Judul
Buku : Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam
Penulis : Ali Syari’ati
Tahun : 1994
Kota : Bandung
Penerbit : Mizan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda