Setelah membaca buku karya Ismail Raji’ Al-Faruqi
yang berjudul Islam dan Kebudayaan, saya akan membahas bab pertama pembahasan
yang dibahas adalah mengenai “Bukan Relativisme”. Dalam pembahasannya menurut
sepemahaman saya bab ini menjelaskan mengenai arti sebuah kebudayaan,
kebudayaan yang berkaitan dengan relativisme, dan kebudayaan islam bukanlah
kebudayaan yang relativisme.
Pertama, mengenai arti sebuah kebudayaan yang
dimaksud oleh Ismail Raji’ Al-Faruqi, kebudayaan adalah kesadaran akan
nilai-nilai dalam kesemestaannya, yang pada tingkat terendah mengandung makna
suatu kesadaran intuitif dari identitas nilai dan urutan tingkat yang
sesungguhnya dari setiap nilai, serta kewajiban seseorang untuk mengejar dan
mewujudkan nilai-nilai itu. Maksud dari hal itu menurut pemahaman saya sebuah
kebudayaan adalah kesadaran akan nilai-nilai yang telah ada pada alam dan
lingkungannya yang pada tingkat terendah dapat dipercayai oleh hati dan pada
tingkat yang sebenarnya adalah kesadarannya itu dapat diwujudkan oleh seseorang
dengan mengejar dan mewujudkan arti sebenarnya nilai-nilai itu.
Dalam mewujudkan nilai-nilai kebudayaan itu pada
tingkat tertinggi diperoleh tidak dengan sendirinya artinya sebuah nilai
kebudayaan dapat diperoleh dengan cara pengamatan yang menyeluruh terhadap
nilai tersebut. Paham saya, sebuah kebudayaan itu tersususun dari beberapa
nilai kompleks yang menyatu menjadi sebuah nilai utama.
Bila saya melihat arti budaya sendiri dalam wikipedia,
budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi dan budaya itu
dihasilkan oleh akal manusia. Artinya budaya adalah sebuah nilai yang dibentuk
oleh akal manusia yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah tata cara hidup
seseorang atau kelompok yang otomatis harus ada persetujuan dari kelompok
tersebut dan dilakukan secara turun temurun.
Selanjutnya kebudayaan yang berhubungan dengan
relativisme, arti dari relativisme menurut kamus besar bahasa indonesia adalah
pandangan bahwa sebuah pengetahuan dibatasi oleh akal budi yang serba terbatas
maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas. Apabila saya melihat
relativisme kebudayaan yang ada dalam buku ini, menurut Al-Faruqi relativisme
kebudayaan menempatkan setiap kebudayaan menjadi suatu keseluruhan yang
mandiri, suatu susunan hirarki nilai-nilai sui
generis (yang khas) yang meskipun bergantung pada pemaparan, kebal kritik
berkat batasannya sendiri. Ia menolak kemungkinan kritik atas dasar bahwa
kriteria itu sendiri selalu ditentukan secara kultural dan karenanya, termasuk
golongan kebudayaan yang akan dinilai, oleh sebab itu tidaklah mungkin bagi
manusia untuk menempatkan diri di atas kebudayaannya sendiri dan membangun
semacam tata cara suprakultural atau sistem kriteria dan norma-norma yang dapat
dipakai untuk mengkritik sejarah kebudayaan.
Paham saya mengenai pendapat diatas terhadap
relativisme kebudayaan adalah bahwa kebudayaan menjadi sebuah sistem nilai
sendiri dan memiliki daya kekuasaannya sendiri, sehingga kebal terhadap kritik
artinya seseorang atau seorang peneliti tidak dapat mengkritik sebuah
kebudayaan karena ia bersifat mandiri, dianggap benar dalam pendapatnya sendiri
atau kenyataan budaya telah mengandung pembelaannya sendiri dan bersikap
deskriptif, hanya melaporkan, menganalisa membandingkan dan memperbedakan
penemuannya kedalam berbagai kebudayaan, agama, dan peradaban.
Kebudayaan, agama, dan peradaban dikatakan oleh
Ismail Raji’ Al-faruqi memiliki otonomi yang sama, yang mengakibatkn
masing-masing merupakan hakimbagi diri sendiri. Tentunya masing-masing
menganggap dirinya bersifat universal, berhubungan dengan manusia apa adanya,
berbicara tentang agama apa adanya. Sekalipun begitu semua relativisme
sesungguhnya mengatakan bahwa seluruh pandangan mereka salah, karena meskipun
mengganggap diri universal kenyataannya mereka bersifat subyektif. Dalam
penyelidikannya tentang manusia, antropologi, psikologi, sejarah, sosiologi,
dll- semua disiplin ilmu tersebut, dizaman modern ini, telah menurunkan
keingginannya untuk menguraikan manusia dan hakikat atau kebenaran sedemikian
drastis. Mereka membatasi semua pandangan pada analisis perwujudan tertentu
manusia, tentang pemikiran dan perilakunya, tentang sistem idea dan
kehidupannya yang tertentu pula. Tidak ada satu pun diantara semuanya pada masa
ini memiliki keberanian atau kekuatan untuk berbicara perihl manusia secara keseluruhan.
Lalu yang terakhir, adalah mengenai kebudayaan islam
bukanah kebudayaan relativisme. Menurut paham saya setelah membaca hal 13,
menyatakan bahwa islam tidaklah sebuah kebudayaan yang relativisme yang membuat
daerah kekuasaannya sendiri sehingga tidak dapat dikritik, tapi disini islam
mengklaim diri sebagai sesuatu yang esensial bagi manusia, bahwa nilai-nilai
islam dapat berlaku mutlak bagi semua manusia karena nilai-nilai itu benar.
Maksudnya adalah bahwa islam dapat masuk dalam sebuah kebudayaan tertentu dan
menjadikan kebudayaan tersebut menjadi kandungan etos (pandangan hidup yang
khas dari suatu golongan sosial) islam, hanya islam yang mengakui kebudayaan
kedaerahan. Contohnya seperti bahasa, islam turun didaerah arab sehingga
kebudayaan arab seperti bahasanya yaitu bahasa arab menjadi bahasa Al-Qur’an.
Itulah hal yang dapat saya pahami dalam bacaan
tersebut, hal yang membingungka bagi saya adalah sebenarnya antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan lain (selain islam) apakah dapat saling mempengaruhi,
lalu seperti apakah bentuk kebudayaan yang ada di Indonesia yang masuk ke dalam
etos islam.
Data
Buku
Judul: Islam dan Kebudayaan Pengarang:
Ismail Raji’ Al-Faruqi
Penerjemah: Yustiono
Tahun: 1984
Kota: Bandung
Penerbit: Mizan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda